Puisi ini pernah dibacakan Rendra di depan anggota DPR pada Januari 1991. Waktu itu menurut berita koran ada beberapa anggota DPR yang menitikkan air mata (nggak tau air mata keharuan atau air mata putus asa atau air mata buaya). Masa itu masih jaman represi Orde Baru dan PDI belum berubah jadi PDI-P. Hari ini... sekitar 16 tahun setelah Rendra membacakan puisi ini, kok ya kita masih berkutat dengan masalah yang sama. Oh, my goodness!
Demi Orang-orang Rangkas Bitung
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli,
datang dari masa lalu,
dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkas Bitung,
ibu kota Lebak saat itu.
Suatu pengalaman yang penuh ujian
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa,
Demi kepentingan penjajahan.
Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya
Kalah dan tidak berdaya.
Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka
dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun,
sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga.
Menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tatabahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.
Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dulu
juga mempunyai keluh-kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di jaman penjajahan oleh Spanyol
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi apakah sekarang mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?
Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan keadaannya.
Kita tidak bis seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berfikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibandingkan dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.
Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari jaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkas Bitung
tidak punya hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah punya hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak tidak bisa lolos dari hukum
Sekarang Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara Anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak-hak hukum
bisa disebut bangsa yang merdeka?
Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang demokrasi
kepada para putranya.
Tetapi dari dalam kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telpon
untk memberi dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa mereka sendiri.
Oh, ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan bantuan ekonomi
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia ebrkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.
Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sduah saya alami,
Apakah orang seperti saya harus dilanda oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidak-adilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.
Tuan-tuan, para penguasa dunia,
kita sama-sama memahami sejarah,
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang dan dibakar.
Juga bukan kentang yang bisa dihancur-leburkan
Saya Multatuli
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disama-ratakan dengan tanah.
Tuan-tuan, para penguasan dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya,
Ialah: hadir dan mengalir.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terimakasih.
Bojong Gede
5 November 1990
Rendra
Showing posts with label Poem. Show all posts
Showing posts with label Poem. Show all posts
Tuesday, May 01, 2007
Wednesday, November 22, 2006
Membisu
Mungkin dengan gusar
kaucela kurangku
Haruskah aku mundur?
Apakah sayatan tajam sedingin kaca es
sanggup tembus api hatiku?
Haruskah aku menyerah
dan tak naik pitam?
Tidak!
Aku akan berontak dan teriak
Tapi
salahkah aku jika
gelapkan suasana
dengan untaian kata pahit
yang buatmu luka dan terhina
jadi sekering pasir
terbang
dan dengan tenang, menghilang.
Jangan tanyakan mengapa
aku membisu
Disini, aku tinggal
sehamparan mawar segar yang
meliuk di bawah selimut saljumu
teka-teki yang tak terjawab
di salah satu sudut hatimu
Takdir yang tertulis:
lelaki adalah es
dan perempuan adalah api.
kaucela kurangku
Haruskah aku mundur?
Apakah sayatan tajam sedingin kaca es
sanggup tembus api hatiku?
Haruskah aku menyerah
dan tak naik pitam?
Tidak!
Aku akan berontak dan teriak
Tapi
salahkah aku jika
gelapkan suasana
dengan untaian kata pahit
yang buatmu luka dan terhina
jadi sekering pasir
terbang
dan dengan tenang, menghilang.
Jangan tanyakan mengapa
aku membisu
Disini, aku tinggal
sehamparan mawar segar yang
meliuk di bawah selimut saljumu
teka-teki yang tak terjawab
di salah satu sudut hatimu
Takdir yang tertulis:
lelaki adalah es
dan perempuan adalah api.
Aku
Malam tanyakan siapa Aku
Aku adalah gelap yang tak terselami,
rahasia resah yang berjalan
Aku adalah angin teduh yang gelisah
Kucadari diri dengan diam
Kubungkus hati dengan kesangsian
Khidmat, kutatap
usia yang tanyakan siapa Aku
Angin tanyakan siapa Aku
Aku adalah roh yang terungkit
Disangkal oleh Sang Waktu, tanpa tujuan
Kujelajahi tanpa puas
Kulewati tanpa henti
Dan ketika kusampai ke tepian
Kupikir ini mungkin akhir
Penderitaan, tapi: kosong!
Waktu tanyakan siapa Aku
Aku adalah rahasia yang ingin rengkuh abad
Yang nanti akan lahirkan hidup
Pernah kucipta lalu yang suram
Dari kebahagiaan serakan harapan
Kusurukkan semua,
kembali ke dalam kubur hati
Yah, untuk dapatkan kemarin yang indah
mungkin akan kucicip esok nan dingin
Diri tanyakan siapa Aku
Tercengang,
Kuterbelalak dalam gelap...
Tiada yang berikan damai hati
Kubertanya, namun jawaban
sembunyi dalam tempurung khayal
Kupikir dia dekat,
dapat kuraih?
Ketika tangan kuulurkan,
dia larut, dan hilang!
Aku adalah gelap yang tak terselami,
rahasia resah yang berjalan
Aku adalah angin teduh yang gelisah
Kucadari diri dengan diam
Kubungkus hati dengan kesangsian
Khidmat, kutatap
usia yang tanyakan siapa Aku
Angin tanyakan siapa Aku
Aku adalah roh yang terungkit
Disangkal oleh Sang Waktu, tanpa tujuan
Kujelajahi tanpa puas
Kulewati tanpa henti
Dan ketika kusampai ke tepian
Kupikir ini mungkin akhir
Penderitaan, tapi: kosong!
Waktu tanyakan siapa Aku
Aku adalah rahasia yang ingin rengkuh abad
Yang nanti akan lahirkan hidup
Pernah kucipta lalu yang suram
Dari kebahagiaan serakan harapan
Kusurukkan semua,
kembali ke dalam kubur hati
Yah, untuk dapatkan kemarin yang indah
mungkin akan kucicip esok nan dingin
Diri tanyakan siapa Aku
Tercengang,
Kuterbelalak dalam gelap...
Tiada yang berikan damai hati
Kubertanya, namun jawaban
sembunyi dalam tempurung khayal
Kupikir dia dekat,
dapat kuraih?
Ketika tangan kuulurkan,
dia larut, dan hilang!
Kata
Kuingin menulis dalam bahasa angin
Ingin ciptakan lidah baru
dengan rasa nan beda
bahasa yang menari,
bahasa yang memabukkan sepanjang jalan,
bahasa yang sanggup dekap pepohonan,
bahasa yang dapat jalan di atas air,
Sebuah bahasa
yang bakar dunia,
dan kumpulkan daun-daun musim gugur
Jika kuperintahkan kata untuk mati,
lalu tumpuk onggokan masa lalu, kini, dan kelak
sambil katakan pada matahari:
Bakar timbunan kata-kata itu!
dan katakan pada bumi:
Kubur debunya!
dan katakan pada debu:
Debu-Kata,
tampilkan lidah si ahli sihir
untuk suruh api:
Jadilah Kata
untuk suruh Kata:
Jadilah Puisi
karena tanpa Kata
apa yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar?
Ingin ciptakan lidah baru
dengan rasa nan beda
bahasa yang menari,
bahasa yang memabukkan sepanjang jalan,
bahasa yang sanggup dekap pepohonan,
bahasa yang dapat jalan di atas air,
Sebuah bahasa
yang bakar dunia,
dan kumpulkan daun-daun musim gugur
Jika kuperintahkan kata untuk mati,
lalu tumpuk onggokan masa lalu, kini, dan kelak
sambil katakan pada matahari:
Bakar timbunan kata-kata itu!
dan katakan pada bumi:
Kubur debunya!
dan katakan pada debu:
Debu-Kata,
tampilkan lidah si ahli sihir
untuk suruh api:
Jadilah Kata
untuk suruh Kata:
Jadilah Puisi
karena tanpa Kata
apa yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar?
Friday, November 26, 2004
Negeri Orang Tertawa
Oleh: Cak Nun (Emha Ainun Najib)
Berpengalaman Dijajah
Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.
Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran diberbagai negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok.. Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka, dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.
Aliansi anti deportasi di Jakarta melaporkan hampir 3 juta kasus penindasan atas tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air. Di Terminal 3 Cengkareng airport mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh banyak yang memang menunggu disana untuk mencari nafkah. Itu membuat mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.
Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyebrang keluar negeri untuk mencari penjajah.
Tuhan Menyesuaikan Diri Pada Aturan Manusia
Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekonomian yang stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian sungai, dan kami hiasi dengan pot-pot bunga serta burung perkutut.
Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami. Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada ilmuwan yang tertarik meneliti frekuensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung, di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, ditengah kerusuhan, di gedung parlemen, ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh dari motor, kami menuding-nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan. Apalagi orang pintar.
Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan. Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon: "MEMBELA YANG BENAR." Kami sudah menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni "membela yang bayar."
Tuhan harus menyesuaikan aturan-aturan-Nya dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita. Orang-orang yang memeluk agama sudah sangat lelah berabad-abad diancam oleh Tuhan yang maha menghukum, menyiksa, mencampakkan ke api neraka. Tuhan yang boleh masuk ke rumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih sayang yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan-kesalahan kita. Sebagaimana kata-kata mutiara - "Manusia itu tempat salah dan maaf."
Kiriman: Eky Sri Handayani (Jakarta - Indonesia)
Labels:
Contemplation,
Indonesia`s Talent,
Poem
Friday, August 08, 2003
In Such Deeply Aggrieved Time
Jakarta, August 5, 2003…… 12:44:10AM
bomb, terrorism, scare, sadness, anger, hatred
heads, arms, fingers, legs, feet, toes,….. and souls
cry, sob, howl, shout, pain, wound, and death
beloved mothers, fathers, daugthers, sons, unborn babies, families and friends
sorrow, a deep one…
ordeal, a painful one…
one more trial for the country?
a long and arduous challenge for human spirit?
In such deeply aggrieved time I would like us to think about all the good thing, beauty, and peace that we have ever had…..
In such deeply aggrieved time let’s pray…
"Education is the ability to listen to almost anything without losing your temper." (Robert Frost)
God's Garden
God made a beatous garden
With lovely flowers strown,
But one straight, narrow pathway
That was not overgrown.
And to this beauteous garden
He brought mankind to live,
And said: "To you, my children,
These lovely flowers I give.
Prune ye my vines and fig trees,
With care my flowerets tend,
But keep the pathway open
Your home is at the end."
Then came another master,
Who did not love mankind,
And planted on the pathway
Gold flowers for them to find.
And mankind saw the bright flowers,
That, glitt'ring in the sun,
Quite hid the thorns of av'rice
That poison blood and bone;
And far off many wandered,
And when life's night came on,
They still were seeking gold flowers,
Lost, helpless and alone.
O, cease to heed the glamour
That blinds your foolish eyes,
Look upward to the glitter
Of stars in God's clear skies.
Their ways are pure and harmless
And will not lead astray,
Bid aid your erring footsteps
To keep the narrow way.
And when the sun shines brightly
Tend flowers that God has given
And keep the pathway open
That leads you on to heaven.
by: Robert Frost
Labels:
Activism,
Injustice,
Poem,
Socio-Politic
Monday, May 19, 2003
Acehmu Aceh Kita Semua
Pada tanggal 19 Mei 2003 dengan Dekrit Presiden (Keppres 28/2003) diberlakukan keadaan darurat militer di Aceh ketika terjadi kegagalan upaya damai lewat CoHA (Cessation of Hostilities Agreement). Entah kapan puisi seperti tertulis di bawah ini menjadi catatan sejarah bukan sedih, sengsara dan kegusaran yang terus berlangsung...
Acehmu Aceh Kita Semua
oleh: Putu Oka
Koran pagi datang membawa suara gagak Raiya
Meraung-raung mengitari wuwungan rumah
Dan sesaat mengepakkan sayapnya sutra hitam memayungi jagatraya
Ada apa di Acehmu Raiya, getir mengguncang, dendam membara?
Tak terhentikan melayangnya nyawa
Tak tertahankan mengucur darah
Sudah berapa dimakamkan jenasah?
Aceh terpapar di ensiklopedia Indonesia:
Luas membentang dari Ulelhe membangun ekor Bukit Barisan
dataran tinggi hijau hutan perawan, gunung- gunung, petak sawah
berhamparan coklat tanahmu, coklat kulit petani terpanggang matahari
menyimpan dan memangku bebijian harta
limapuluh delapan ribu kilometer persegi dijaga tiga juta
Jika kudengar orang bilang Aceh, Acehmu, Aceh kita semua
Seperti lantun suara guru pelajaran sejarah, perkasa melawan Belanda
Nama terus terpahat, Tjut Nyak Dien, Tjut Nyak Meutia,
aku suka perempuan perkasa
Tjik Di Tiro menghadapi Jenderal Ven der Heiden di Pidi,
Teuku Umar tetapi juga Snouck Hurgronje,
tentu engkau paham Raiya,
Tetapi sekarang apa yang terjadi di Lhoseumawe, Meunasah Blang
Apakah ada perang?
Dan kemarin disebutkan nama Ahmad Kandang,
siapa lagi di koran pagi
Letup api, deru helikopter, teriak histeris, siapa lagi
Siapa nama mereka yang tersungkur rebah,
sudahkah tercatat mereka punya nama
Janda-janda, anak lapar tanpa bapak, luka-luka, bekas diperkosa
Gunung Leuser, Gunung Ucap Mulu,
tampak termangu memperkaya catatannya
Dan menggaris-bawahi nama-nama pemimpin zaman orba
yang menjual harta
dan memalingkan muka ketika disapa: untuk siapa?
Airmata gerimis pagi, duka dunia
Langit menyembunyikan cahaya
Cahaya tersimpan di dalam kelam
Kelam memancar di wajah kusam
Wajah berdarah terhantam popor senapan
Siapa yang sudah lupa bahwa mesiu juga dibeli
dari hasil hutanmu Raiya
Makanan dan minuman dari lumbung dan
mata air bagi yang katanya penjaga merdeka,
Apa benar mereka menjaga engkau merdeka,
Apa benar engkau minta merdeka,
kita semua belum tahu siapa punya merdeka,
Kita semua ingin setara.
Adakah kursi orang-orang Jakarta terlalu tinggi tak tergapai
Dipisah barikade dikawal pasukan berani mati
Kebanyakan upeti
Langitmu, langit kita semua
Awan-awan dilangitmu terus bergayut, angin mati tidak berdaya
Hutanmu ligir, dedaunannya kemana
Tanahmu merekah, isinya disimpan siapa
Laparmu lapar kita
Lukamu luka dunia
Tangismu airmata kita
Sungaimu, gunungmu, minyakmu, padi, kelapa sawit, lada
Karet, gambir, gula, gas alam, oi Acehmu kaya raya
(tapi engkau bilang rakyat miskin)
Ada emas perak pula, begitu tulis ensiklopedia Indonesia
Aku mengiburmu Raiya: simpanlah duka di laci meja
Dosanya dibawa sendiri mati
Jika kau dengar ketuk di pintumu: intip dari lobang kunci
Jika ia meminta maaf: bukakan hati
Kemudian antarkan ke kantor polisi.
Seorang teman keponakanku, baru selesai mengikuti penataran
Mampir di rumah seperti penasaran
Berceloteh panjang lebar, tentang Acehnya, walau Aceh kita semua
Ketika diingatkan Jakarta punya banyak telinga
'saya sudah cape diam', begitulah ia sambil terus bercerita
di zaman Suharto belum digusur mahasiswa.
Kiranya ada api di dalam sekam
Walau disiram tidak bertunas damai di sanubari
Sebab apa bulan terus bertengger di batang padi
Walau malam telah lama lari
Tikus terus menari-nari
Pemuda itu menutup cerita: 'cobalah Bapak jadi rakyat Aceh
pasti Bapak seperti saya akan berceloteh.'
Raiya, engkau bertanya di dalam suratmu: Malapetaka apa lagi
dibawakannya untuk kami,
Engkau juga menulis: aku cape lahir bathin,
aku tidak bisa menangis lagi
Aku takut, suara helikopter meraung-raung,
berita kematian tiada henti
Yang di dalam tahanan dianiaya
Jerit anak, perempuan, aku tak sanggup lagi,
telah sekian malam aku tidak bisa tidur,
Aku lelah lahir bathin,
Mala petaka apa lagi dibawakannya buat kami.
Aku merindukan damai.
Tak bisa kubunuh bayang bocah kecil menangis
Ayahnya digiring ke mobil tahanan
Melambaikan tangan
Dan terus menangis
Seperti ibunya terus menangis
Seperti kami terus menangis
Menyembunyikan tangis di dalam ketakutan
Di dalam ketakutan senapan bersahut-sahutan
(Istri kehilangan suami
anak kehilangan bapak
lapar dan dahaga di alam kaya raya,
kami merindukan damai)
Raiya, hapus air mata
Acehmu, Aceh kita semua
Perjalanan jauh untuk kembali jadi manusia
Raiya, Acehmu Aceh kita semua
Ada kalanya kita terdiam
Di dalam diam kita bertanya
Di dalam diam merangkai makna.
Sambil ke sawah mengusir hama
Mendulang emas dan perak kandungan bumi
Jaga pantaimu, siapkan kuitansi bagi pembeli
Burung-burung gagak akan menukar bulunya
Putih bersih berkicau di rumah jaga
Ketika panser dan senapan disimpan di asrama
Aku menghiburmu Raiya: simpanlah duka di laci meja
Dosanya dibawa sendiri mati
Jika kau dengar ketuk di pintumu: intip dari lobang kunci
Jika ia meminta maaf: bukakan hati.
Kemudian antarkan ke kantor polisi.
Meniti benang sampai ke seberang
Jangan terjatuh di tengah jurang
Jika tegak hukum menimbang
Di jalanmulah bintang nyala terang
Menyimpan parang usai perang.
Labels:
Activism,
Injustice,
Peace Building in Aceh,
Poem
Thursday, January 20, 2000
Y2K
Pak Andang, moga-moga belum terlalu terlambat untuk ikut 'cuap-cuap', karena "komidi tipu" ini patut direnungi...
Jika roh dinosaurus masih ada di luar sana pasti dia berkata sambil ngakak, "Baru 2000 tahun udah senang-senang, aku berevolusi dalam ratusan juta tahun. In a span of hundreds million years, we're evolved and these homosapiens are still wondering about us. Who cares?"
Jika Neil Armstrong waktu itu ada di bulan pasti dia menangis melihat kilatan kembang api dalam keheningan bulan yang hampa,...
Jika Tuhan melihat bumi ini dalam 24 jam itu,... apa yang ada dalam kepalaNya? Maybe He said "It's a Miller time! These kids of mine really know how to have fun. Despite many obstacles they (sometimes) can work their brain and brawn quite well."
Dua ribu tahun yang lalu aku belum ada,
dua ribu tahun mendatang akupun sudah tiada,
banyak yang terjadi dalam 2000 tahun,
seperti banyak pula yang terjadi dalam sekian miliar tahun,
Kompas terbit 80 halaman,
Tempo hampir 200 halaman (dengan harga sama)
Kembang api dimana-mana,
mulai dari New Zealand sampai London.
Oh, pasti bentuknya jadi deret ukur dalam 24 jam itu!
Manusia tanpa sadar memang suka komidi,
bisa menertawakan dan ditertawakan,
pahit tapi tak sakit hati.
Manusia dengan sadar terus mencari
posisi relatifnya dalam konstelasi kehidupan,
pada kanak-kanak Inca yang terkubur 7000 meter di atas muka laut
(siapa tahu tingginya waktu itu?)
pada suku Masai di Afrika yang masih hidup atas darah dan susu
(siapa tahu gejolak perasaannya menghadapi "kemajuan" sekarang?)
Manusia memang butuh pembatas, biar jelas "tandanya"
Alam mengalir, dari musim dingin ke musim gugur,
dari musim semi ke musim panas,
dari pagi, siang dan malam,
Jika kita fast forward mungkin tak jelas lagi batasnya.
Manusia lahir tertulis hari, bulan dan tahun lahirnya
agar dapat dihitung peruntungan kosmologinya (aha!)
agar dapat dimaknai posisinya dalam konstelasi ruang,
waktu, sosial, budaya, politik, ekonomi, dll.
Kurasa ini bukan tipu,... tapi kebersamaan yang dibangun atas nama sebuah artificial bug... tak berwujud, tak bernyawa, tapi ada dalam tiap desah hidup manusia modern. Memang kita "terpaksa" ikut-ikutan heboh soal kutu ini, karena mau ndak mau kita juga kebablasan atau katutan jadi manusia modern.
Apa seandainya yang akan terjadi jika para PR "kumpeni" itu tidak berkoar-koar soal Y2K, soal millennium bug? Bisa jadi nggak ada apa-apa,... but, if it really happens, do we have the excessed expense to handle such catasthrope? I am not an IT expert but I believe our global concerted efforts had quelled such thing to happen in grand scale.
Bill Gates "mendikte" perjalanan IT, mendominasi dunia informasi. Have others come forward with more genius innovation? DOS bukan buatan Gates tapi dia "mensosialisasikannya" dengan sukses, dan menggiring kita menuju komputer berbasis windows. Windows Explorer bukan media internet yang pertama, Netscape lebih populer dan muncul lebih dulu, tapi... semua tahu Explorer yang sekarang jadi dominan. UNIX pernah populer dan digembar-gemborkan jadi jawaban canggih untuk kebutuhan online,... akhirnya kalah dengan Windows NT. Akhir-akhir ini muncul Linux, walau masih diragukan kesuksesannya. The bottom line is that Gates is very capable to create the continuity of their products, he has a vision to command the future market and to serve the consumers towards higher comfort and friendliness.
Henry Wadsworth Longfellow pernah bilang,
"Not enjoyment, and not sorrow,
is our destined end or way;
but to act, that each tomorrow
find us farther than today
....
Lives of great men all remind us
we can make our life sublime,
and, departing, leave behind us
footprints on the sands of Time."
Kebersamaan dibangun atas kesadaran bahwa kita berjalan menuju hidup yang lebih baik.
Let's celebrate the realm of being human!
To feel success and despair,
pain and glory,
for we are considered lucky to have experienced those feelings.
Note: dimuat dalam milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknologi Geologi "GEA" ITB, untuk menanggapi Yayang yg protes akan kehebohan Y2K... salah satu baitnya begini:
tahun baru duaribu
komidi tipu
kecemasan sedunia
simbol kosong dua
dibungkus bahasa kapitalis
bernama teknologi
membutakan nalar
(bahkan tukang insinyur
yang alergi kalkulator sayur)
merampas semua logika
menghisap semua dana
yang mustinya bisa dipakai
ngasih makan pengungsi sedunia
Jika roh dinosaurus masih ada di luar sana pasti dia berkata sambil ngakak, "Baru 2000 tahun udah senang-senang, aku berevolusi dalam ratusan juta tahun. In a span of hundreds million years, we're evolved and these homosapiens are still wondering about us. Who cares?"
Jika Neil Armstrong waktu itu ada di bulan pasti dia menangis melihat kilatan kembang api dalam keheningan bulan yang hampa,...
Jika Tuhan melihat bumi ini dalam 24 jam itu,... apa yang ada dalam kepalaNya? Maybe He said "It's a Miller time! These kids of mine really know how to have fun. Despite many obstacles they (sometimes) can work their brain and brawn quite well."
Dua ribu tahun yang lalu aku belum ada,
dua ribu tahun mendatang akupun sudah tiada,
banyak yang terjadi dalam 2000 tahun,
seperti banyak pula yang terjadi dalam sekian miliar tahun,
Kompas terbit 80 halaman,
Tempo hampir 200 halaman (dengan harga sama)
Kembang api dimana-mana,
mulai dari New Zealand sampai London.
Oh, pasti bentuknya jadi deret ukur dalam 24 jam itu!
Manusia tanpa sadar memang suka komidi,
bisa menertawakan dan ditertawakan,
pahit tapi tak sakit hati.
Manusia dengan sadar terus mencari
posisi relatifnya dalam konstelasi kehidupan,
pada kanak-kanak Inca yang terkubur 7000 meter di atas muka laut
(siapa tahu tingginya waktu itu?)
pada suku Masai di Afrika yang masih hidup atas darah dan susu
(siapa tahu gejolak perasaannya menghadapi "kemajuan" sekarang?)
Manusia memang butuh pembatas, biar jelas "tandanya"
Alam mengalir, dari musim dingin ke musim gugur,
dari musim semi ke musim panas,
dari pagi, siang dan malam,
Jika kita fast forward mungkin tak jelas lagi batasnya.
Manusia lahir tertulis hari, bulan dan tahun lahirnya
agar dapat dihitung peruntungan kosmologinya (aha!)
agar dapat dimaknai posisinya dalam konstelasi ruang,
waktu, sosial, budaya, politik, ekonomi, dll.
Kurasa ini bukan tipu,... tapi kebersamaan yang dibangun atas nama sebuah artificial bug... tak berwujud, tak bernyawa, tapi ada dalam tiap desah hidup manusia modern. Memang kita "terpaksa" ikut-ikutan heboh soal kutu ini, karena mau ndak mau kita juga kebablasan atau katutan jadi manusia modern.
Apa seandainya yang akan terjadi jika para PR "kumpeni" itu tidak berkoar-koar soal Y2K, soal millennium bug? Bisa jadi nggak ada apa-apa,... but, if it really happens, do we have the excessed expense to handle such catasthrope? I am not an IT expert but I believe our global concerted efforts had quelled such thing to happen in grand scale.
Bill Gates "mendikte" perjalanan IT, mendominasi dunia informasi. Have others come forward with more genius innovation? DOS bukan buatan Gates tapi dia "mensosialisasikannya" dengan sukses, dan menggiring kita menuju komputer berbasis windows. Windows Explorer bukan media internet yang pertama, Netscape lebih populer dan muncul lebih dulu, tapi... semua tahu Explorer yang sekarang jadi dominan. UNIX pernah populer dan digembar-gemborkan jadi jawaban canggih untuk kebutuhan online,... akhirnya kalah dengan Windows NT. Akhir-akhir ini muncul Linux, walau masih diragukan kesuksesannya. The bottom line is that Gates is very capable to create the continuity of their products, he has a vision to command the future market and to serve the consumers towards higher comfort and friendliness.
Henry Wadsworth Longfellow pernah bilang,
"Not enjoyment, and not sorrow,
is our destined end or way;
but to act, that each tomorrow
find us farther than today
....
Lives of great men all remind us
we can make our life sublime,
and, departing, leave behind us
footprints on the sands of Time."
Kebersamaan dibangun atas kesadaran bahwa kita berjalan menuju hidup yang lebih baik.
Let's celebrate the realm of being human!
To feel success and despair,
pain and glory,
for we are considered lucky to have experienced those feelings.
Note: dimuat dalam milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknologi Geologi "GEA" ITB, untuk menanggapi Yayang yg protes akan kehebohan Y2K... salah satu baitnya begini:
tahun baru duaribu
komidi tipu
kecemasan sedunia
simbol kosong dua
dibungkus bahasa kapitalis
bernama teknologi
membutakan nalar
(bahkan tukang insinyur
yang alergi kalkulator sayur)
merampas semua logika
menghisap semua dana
yang mustinya bisa dipakai
ngasih makan pengungsi sedunia
Labels:
Contemplation,
Earth Sciences,
ITB,
Poem
Monday, December 20, 1999
Kultur, Dialektika dan Geologi
Tulisan ini merupakan tanggapanku atas tulisan, tepatnya puisi Yayang, di milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknologi "GEA" ITB.
Ini puisinya:
guru kita feodal,
geologi ilmu liberal
sedikit klenik
setengah seni
kita seperti nano-nano
bukan karena rame rasanya
tapi selalu
diisep sampe habis
tak ada lagi
yang bisa ditelan
feodalisme melahirkan peniru
bukan penemu
bahkan ketika
yang dari perancis,
jepang, jerman dan amerika pulang
keterikatan kolektifnya
tetap pada jiwa feodal,
karena menjadi guru
adalah untuk digugu
dan untuk ditiru
tapi geologi
hanya bisa jadi bermutu
maju dan punya kuku
kalau tidak digugu
apalagi ditiru
geologi perlu dirobohkan
perlu ditumbangkan
dibumihanguskan, diratakan
untuk dibangunkan
siapkah kalian,
murid-murid kehidupan
(mahasiswa, alumni, dosen, birokrat pendidikan,
peneliti, buruh, manajer)
belajar kultur
dan dialektika
geologi?
Ini tanggapanku:
Bung Yayang pasti sedang gundah gulana,
resah gelisah memikirkan hubungan ke-3 hal tsb.
guru kita memang banyak yang feodal,
sedikit yang kritis,
yang kritis terkadang tak mampu berteriak
atau menebar benih liberal
karena dirinya sendiri kadang bertanya
"apakah itu memang cocok dengan budaya Indonesia?"
dan kembali tenggelam dalam keseharian
sistem yang feodal.
Ilmu meniru itu banyak enaknya,...
ilmu tinggal menggugu apa yang tertulis dalam diktat dan dapat ponten A
(yang sekarang mungkin sudah tercetak lewat laser printer,
tapi isinya tetap sama dari jaman ke jaman).
tak perlu berpikir strategi apa yang perlu dijalankan
untuk menghasilkan manusia berbudaya,
tak perlu sakit hati jika para alumni "mengeluh" atau "menghujat"
(karena dogma abadi: perguruan tinggi adalah institusi kenyataan
yang dijalankan dalam mimpi)
memang tak semua manusia berbudaya jadi penemu,
banyak pula yang jadi peniru...
tapi peniru yang kritis,
kita belum jadi peniru kelas komposit:
yang menghasilkan mobil kelas BMW,
atau yang membedah software Microsoft hingga ke titik koma!
amboi! kita masih jadi tukang obras kata yang sinis!
masalahnya bukan siap atau tak siap.
tapi, sedia atau tak sedia untuk "sedikit" cerdas berpikir.
untuk tetap obyektif dan beretika.
jadi,... resah kali ini apa sebabnya Bung?
Ini puisinya:
guru kita feodal,
geologi ilmu liberal
sedikit klenik
setengah seni
kita seperti nano-nano
bukan karena rame rasanya
tapi selalu
diisep sampe habis
tak ada lagi
yang bisa ditelan
feodalisme melahirkan peniru
bukan penemu
bahkan ketika
yang dari perancis,
jepang, jerman dan amerika pulang
keterikatan kolektifnya
tetap pada jiwa feodal,
karena menjadi guru
adalah untuk digugu
dan untuk ditiru
tapi geologi
hanya bisa jadi bermutu
maju dan punya kuku
kalau tidak digugu
apalagi ditiru
geologi perlu dirobohkan
perlu ditumbangkan
dibumihanguskan, diratakan
untuk dibangunkan
siapkah kalian,
murid-murid kehidupan
(mahasiswa, alumni, dosen, birokrat pendidikan,
peneliti, buruh, manajer)
belajar kultur
dan dialektika
geologi?
Ini tanggapanku:
Bung Yayang pasti sedang gundah gulana,
resah gelisah memikirkan hubungan ke-3 hal tsb.
guru kita memang banyak yang feodal,
sedikit yang kritis,
yang kritis terkadang tak mampu berteriak
atau menebar benih liberal
karena dirinya sendiri kadang bertanya
"apakah itu memang cocok dengan budaya Indonesia?"
dan kembali tenggelam dalam keseharian
sistem yang feodal.
Ilmu meniru itu banyak enaknya,...
ilmu tinggal menggugu apa yang tertulis dalam diktat dan dapat ponten A
(yang sekarang mungkin sudah tercetak lewat laser printer,
tapi isinya tetap sama dari jaman ke jaman).
tak perlu berpikir strategi apa yang perlu dijalankan
untuk menghasilkan manusia berbudaya,
tak perlu sakit hati jika para alumni "mengeluh" atau "menghujat"
(karena dogma abadi: perguruan tinggi adalah institusi kenyataan
yang dijalankan dalam mimpi)
memang tak semua manusia berbudaya jadi penemu,
banyak pula yang jadi peniru...
tapi peniru yang kritis,
kita belum jadi peniru kelas komposit:
yang menghasilkan mobil kelas BMW,
atau yang membedah software Microsoft hingga ke titik koma!
amboi! kita masih jadi tukang obras kata yang sinis!
masalahnya bukan siap atau tak siap.
tapi, sedia atau tak sedia untuk "sedikit" cerdas berpikir.
untuk tetap obyektif dan beretika.
jadi,... resah kali ini apa sebabnya Bung?
Sunday, September 26, 1999
Verde dan Ngatimo
VERDE DAN NGATIMO
Namaku Verde,
dari bumi Loro Sae,
bagian Indonesia yang minta merdeka.
Namaku Ngatimo,
penjual es podeng pinggir Kampus Atmajaya,
bagian hidup Indonesia yang minta damai.
Namaku Verde,
kukenal yang lalu lalang,
CNRT*, Aitarak*, Falintil*, Besi Merah Putih*, juga Frater
bedil, parang dan mesiu laku sejak berpuluh purnama lalu
penawar takut, penawar damai
Namaku Ngatimo,
kukenal yang lalu lalang,
mahasiswa, pelajar, pekerja, sampai PHH**
es podeng laku dalam terik siang yang lalu
penawar dahaga, penawar gelisah
Namaku Verde,
ketika 30 Agustus beranjak
aku masih di Dili
menjadi saksi sejarah bumiku, Loro Sae
yang beranjak dari temaram menuju terang
Namaku Ngatimo,
ketika es podeng habis
aku masih duduk disitu
menjadi saksi tayangan berwarna
yang beranjak dari terang ke temaram
Namaku Verde,
Orang-orang itu hitung suara kami,
(akhirnya) kami merdeka!
Tapi, bedil, parang dan mesiu kembali berdansa
dalam irama staccato
mungkin seharusnya kupanggul senjata
untuk meredam jiwa gelisah,
biar ada yang tahu aku pilih merdeka
Namaku Ngatimo,
es podeng sudah lama habis
ganti bunyi peluru berdansa
mungkin seharusnya kubuat es podeng lagi
biar ada penawar dahaga, penawar gelisah
supaya peluru berhenti berdansa
Namaku Verde,
remaja bumi Loro Sae, Putra Altar
banyak teriak dan caci maki kudengar
banyak lenguhan panjang dan kesakitan
berlari aku ke bukit, membawa ibu dan bapak
orang sedarah yang masih ada
'tuk redam takut dan gelisah...
Namaku Ngatimo,
pedagang es podeng,
banyak teriak dan caci maki kudengar
banyak lenguhan panjang dan kesakitan
tapi aku terpaku disana
bagai terbius tayangan seru
Namaku Verde,
dari bukit kuturun ke Dili
untuk sambut orang putih dari Australi
dalam hati ada harap
mungkin akhirnya ada kedamaian
bahwa merah bukan darah
Namaku Ngatimo,
Nyaris pulang untuk buat es podeng
sebagai tanda sukacita
atas "kebaikan" Bapak Jenderal dan Bapak Presiden
ha, ha, ha,...
akhirnya ada juga yang punya hati!
Namaku Verde,
kugenggam tangan ibu,
wajahku lega, susupkan harap dalam hati mereka
tiba-tiba kepala berdentam
mataku terpaut pada matanya yang sayu,
sebelum jatuh menghantuk tanah,
Atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus,
aku berkubang dalam darahku
bukan dalam warna merah yang kuinginkan
hitam pekat terhisap dalam rangkulan Loro Sae
Namaku Ngatimo,
Kuangkat tangki es ini,
wajahku lega ketika kulihat wajah mereka
tiba-tiba kudengar lagi peluru berdansa...
mataku terpaut pada sepasang mata muda
bertanya, terkejut, takut, dan haru
lalu terkapar...
darah mengalir dari tubuhnya,
warnanya hitam kental dalam kerlipan malam,
terhisap dalam rangkulan aspal jalanan yang mulai dingin
Namaku Verde,
(aku pilih merdeka,
dan alasanku sederhana,
kuingin damai...
kuingin tahu arti merah yang baru,
bukan sekedar ceceran darah yang mengalir
dari kepala atau dada manusia)
Namaku Ngatimo,
Pada pagi yang hening
darahnya tampak tetap hitam pada aspal jalanan
bagai lukisan perasaan yang bertahan,
terpahat entah sejak kapan...
Namaku Verde,
Namaku Ngatimo,
Kami minta damai dan hidup layak sebagai manusia bermartabat...
September 1999
Note: Kubuat puisi ini ditengah banjir berita tentang kekerasan yang terjadi di Timor Timur dan Jakarta. Pernah dimuat di milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi "GEA" ITB, situs Ceritanet, dan Poet Society Club di ACNielsen Indonesia.
*CNRT, Aitarak, Falintil, Besi Merah Putih adalah nama2 kelompok sipil dan paramiliter di Timor Timur. CNRT adalah Conselho Nacional da Resistencia Timorense (atau dalam bhs Inggrisnya National Council for Timorese Resistance). Falintil adalah the East Timorese National Liberation Army. Aitarak (atau dalam bhs Inggrisnya Thorn) dan Besi Merah Putih (atau dalam bhs Inggrisnya the Iron Red and White, merujuk ke warna bendera Indonesia) adalah kelompok2 paramiliter yg terbentuk sejak Desember 1998 - momentumnya bersamaan dengan meningkatnya permintaan akan penyelesaian politis bagi masa depan Timor Timur.
**PHH = Polisi Huru Hara
Namaku Verde,
dari bumi Loro Sae,
bagian Indonesia yang minta merdeka.
Namaku Ngatimo,
penjual es podeng pinggir Kampus Atmajaya,
bagian hidup Indonesia yang minta damai.
Namaku Verde,
kukenal yang lalu lalang,
CNRT*, Aitarak*, Falintil*, Besi Merah Putih*, juga Frater
bedil, parang dan mesiu laku sejak berpuluh purnama lalu
penawar takut, penawar damai
Namaku Ngatimo,
kukenal yang lalu lalang,
mahasiswa, pelajar, pekerja, sampai PHH**
es podeng laku dalam terik siang yang lalu
penawar dahaga, penawar gelisah
Namaku Verde,
ketika 30 Agustus beranjak
aku masih di Dili
menjadi saksi sejarah bumiku, Loro Sae
yang beranjak dari temaram menuju terang
Namaku Ngatimo,
ketika es podeng habis
aku masih duduk disitu
menjadi saksi tayangan berwarna
yang beranjak dari terang ke temaram
Namaku Verde,
Orang-orang itu hitung suara kami,
(akhirnya) kami merdeka!
Tapi, bedil, parang dan mesiu kembali berdansa
dalam irama staccato
mungkin seharusnya kupanggul senjata
untuk meredam jiwa gelisah,
biar ada yang tahu aku pilih merdeka
Namaku Ngatimo,
es podeng sudah lama habis
ganti bunyi peluru berdansa
mungkin seharusnya kubuat es podeng lagi
biar ada penawar dahaga, penawar gelisah
supaya peluru berhenti berdansa
Namaku Verde,
remaja bumi Loro Sae, Putra Altar
banyak teriak dan caci maki kudengar
banyak lenguhan panjang dan kesakitan
berlari aku ke bukit, membawa ibu dan bapak
orang sedarah yang masih ada
'tuk redam takut dan gelisah...
Namaku Ngatimo,
pedagang es podeng,
banyak teriak dan caci maki kudengar
banyak lenguhan panjang dan kesakitan
tapi aku terpaku disana
bagai terbius tayangan seru
Namaku Verde,
dari bukit kuturun ke Dili
untuk sambut orang putih dari Australi
dalam hati ada harap
mungkin akhirnya ada kedamaian
bahwa merah bukan darah
Namaku Ngatimo,
Nyaris pulang untuk buat es podeng
sebagai tanda sukacita
atas "kebaikan" Bapak Jenderal dan Bapak Presiden
ha, ha, ha,...
akhirnya ada juga yang punya hati!
Namaku Verde,
kugenggam tangan ibu,
wajahku lega, susupkan harap dalam hati mereka
tiba-tiba kepala berdentam
mataku terpaut pada matanya yang sayu,
sebelum jatuh menghantuk tanah,
Atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus,
aku berkubang dalam darahku
bukan dalam warna merah yang kuinginkan
hitam pekat terhisap dalam rangkulan Loro Sae
Namaku Ngatimo,
Kuangkat tangki es ini,
wajahku lega ketika kulihat wajah mereka
tiba-tiba kudengar lagi peluru berdansa...
mataku terpaut pada sepasang mata muda
bertanya, terkejut, takut, dan haru
lalu terkapar...
darah mengalir dari tubuhnya,
warnanya hitam kental dalam kerlipan malam,
terhisap dalam rangkulan aspal jalanan yang mulai dingin
Namaku Verde,
(aku pilih merdeka,
dan alasanku sederhana,
kuingin damai...
kuingin tahu arti merah yang baru,
bukan sekedar ceceran darah yang mengalir
dari kepala atau dada manusia)
Namaku Ngatimo,
Pada pagi yang hening
darahnya tampak tetap hitam pada aspal jalanan
bagai lukisan perasaan yang bertahan,
terpahat entah sejak kapan...
Namaku Verde,
Namaku Ngatimo,
Kami minta damai dan hidup layak sebagai manusia bermartabat...
September 1999
Note: Kubuat puisi ini ditengah banjir berita tentang kekerasan yang terjadi di Timor Timur dan Jakarta. Pernah dimuat di milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi "GEA" ITB, situs Ceritanet, dan Poet Society Club di ACNielsen Indonesia.
*CNRT, Aitarak, Falintil, Besi Merah Putih adalah nama2 kelompok sipil dan paramiliter di Timor Timur. CNRT adalah Conselho Nacional da Resistencia Timorense (atau dalam bhs Inggrisnya National Council for Timorese Resistance). Falintil adalah the East Timorese National Liberation Army. Aitarak (atau dalam bhs Inggrisnya Thorn) dan Besi Merah Putih (atau dalam bhs Inggrisnya the Iron Red and White, merujuk ke warna bendera Indonesia) adalah kelompok2 paramiliter yg terbentuk sejak Desember 1998 - momentumnya bersamaan dengan meningkatnya permintaan akan penyelesaian politis bagi masa depan Timor Timur.
**PHH = Polisi Huru Hara
Labels:
Activism,
Contemplation,
Indonesia,
Injustice,
Poem,
Socio-Politic
Tuesday, July 20, 1999
Pantun Untuk ICW
Pantun untuk ICW*
oleh: W.S. Rendra
Terang bulan, terang dikali
Buaya timbul disangka banci
Orde baru nampaknya tak ada lagi
Ternyata sisanya dipimpin habibie
kalau ada umurku panjang
boleh aku menipu lagi
Orde baru akalnya panjang
bisa mencuri tak bisa diadili
Berakit-rakit ke hulu
Berenangnya kapan-kapan
rakyat sakit di era orde baru
di jaman sekarang menjadi bulan-bulanan
Habis manis sepah dibuang
Kalau ditelan sakit perutnya
golkar dulu sewenang-wenang
Ada pun kini berlagak tanpa dosa
dari mana datangnya cinta
dari dompet turun ke hati
dari mana datangnya derita
dari mantan pencuri dan penindas yang ikut reformasi
Ada gula ada semut di jaman keemasan
tak ada kok banyak semut
itulah jaman edan
bila rakyat datang menuntut
diminta kesabaran
bukti korupsi yang ada tidak diusut
dibilang keadilan
Berburu ke pasar-pasar
berburu canda ketemu banci
menangkap maling teramat sukar
di negara laktokrasi
Lelaki gila wanita disebut sang Arjuna
Wanita diperkosa dibilang si genit malang
Mencuri seekor ayam digebuki tetangganya
Merampok sejuta ayam dilindungi undang-undang
Cintaku murni Adinda sayang
dusta ku ringan dan kadang kalah
hukum positif dirancang curang
untuk membela kejahatan sang penguasa
seni itu seni
pornogarafi itu air seni
menentang pornografi juga menentang penindasan
menentang penindasan harus juga menentang korupsi
Keras pada pornografi dan lunak pada penindasan dan korupsi
itu artinya impotensi
tua tua keladi
makin tua rusak pantunnya
disini pantun saya sudahi
tapi korupsi terus berjalan.
Note: ICW* adalah singkatan dari Indonesia Corruption Watch
oleh: W.S. Rendra
Terang bulan, terang dikali
Buaya timbul disangka banci
Orde baru nampaknya tak ada lagi
Ternyata sisanya dipimpin habibie
kalau ada umurku panjang
boleh aku menipu lagi
Orde baru akalnya panjang
bisa mencuri tak bisa diadili
Berakit-rakit ke hulu
Berenangnya kapan-kapan
rakyat sakit di era orde baru
di jaman sekarang menjadi bulan-bulanan
Habis manis sepah dibuang
Kalau ditelan sakit perutnya
golkar dulu sewenang-wenang
Ada pun kini berlagak tanpa dosa
dari mana datangnya cinta
dari dompet turun ke hati
dari mana datangnya derita
dari mantan pencuri dan penindas yang ikut reformasi
Ada gula ada semut di jaman keemasan
tak ada kok banyak semut
itulah jaman edan
bila rakyat datang menuntut
diminta kesabaran
bukti korupsi yang ada tidak diusut
dibilang keadilan
Berburu ke pasar-pasar
berburu canda ketemu banci
menangkap maling teramat sukar
di negara laktokrasi
Lelaki gila wanita disebut sang Arjuna
Wanita diperkosa dibilang si genit malang
Mencuri seekor ayam digebuki tetangganya
Merampok sejuta ayam dilindungi undang-undang
Cintaku murni Adinda sayang
dusta ku ringan dan kadang kalah
hukum positif dirancang curang
untuk membela kejahatan sang penguasa
seni itu seni
pornogarafi itu air seni
menentang pornografi juga menentang penindasan
menentang penindasan harus juga menentang korupsi
Keras pada pornografi dan lunak pada penindasan dan korupsi
itu artinya impotensi
tua tua keladi
makin tua rusak pantunnya
disini pantun saya sudahi
tapi korupsi terus berjalan.
Note: ICW* adalah singkatan dari Indonesia Corruption Watch
Labels:
Contemplation,
Indonesia,
Poem,
Socio-Politic
Tuesday, May 11, 1999
Black May 1998
Berikut adalah puisi-puisi lamaku yang akhirnya kumunculkan kembali - di Poet Society Club ACNielsen Indonesia - untuk memperingati setahun tragedi kemanusiaan Black May 1998 di Indonesia. Kuperuntukkan bagi mahasiswa dan segenap akademikus Indonesia yang berhati-nurani memperjuangkan Reformasi.
Khayalkan laut...
sekering randu pucat
Khayalkan dedahanan...
yang sudi henti sekejap,
berikan tempat bertengger bagi sang murai
Dan, di masa datang
Khayalkan mati...
dalam kias pucat terpasi
Biarkan yang mati
hidup kembali.
TERJEPIT
Mereka telah mati...
wariskan pecah kepingan hak
yang mereka tenun dalam dagingku
dan dianyam tembus bumbung darahku
Kadang kuterbungkuk
di bawah kebesaran moyang.
Tapi, kini Masa getarkan dinding
lenyapkan batas,
dan ciptakan jalan lahir,
mendenging jauh...
Tepat di pusat hidupku
Kemerdekaan bersinar,
lahirkan bangsa
benihkan garam makna
Biarkan darah kenangan
terjaga dan isi rongga waktu
Mari maju
lintasi gerbang baru
Khayalkan laut...
sekering randu pucat
Khayalkan dedahanan...
yang sudi henti sekejap,
berikan tempat bertengger bagi sang murai
Dan, di masa datang
Khayalkan mati...
dalam kias pucat terpasi
Biarkan yang mati
hidup kembali.
TERJEPIT
Mereka telah mati...
wariskan pecah kepingan hak
yang mereka tenun dalam dagingku
dan dianyam tembus bumbung darahku
Kadang kuterbungkuk
di bawah kebesaran moyang.
Tapi, kini Masa getarkan dinding
lenyapkan batas,
dan ciptakan jalan lahir,
mendenging jauh...
Tepat di pusat hidupku
Kemerdekaan bersinar,
lahirkan bangsa
benihkan garam makna
Biarkan darah kenangan
terjaga dan isi rongga waktu
Mari maju
lintasi gerbang baru
Labels:
Activism,
Indonesia,
Poem,
Socio-Politic
Monday, May 10, 1999
Amnesia
AMNESIA
Air mataku berlinang
terus dan terus
ketika kuharus tiup roh anakku
Anakku?
Pantaskah kau kupanggil anakku
dan aku ibumu...
jika setiap bayangan akan gerakmu
buatku muntah dan gemetar
tak dapat kubayangkan
kau sesuci bayi cinta
hasil khayalan remajaku
juga tidak sebagai
karunia Cinta Kasih Nya
karena kau ada
ketika aku harus dihina
karena kau ada
ketika aku harus dikutuk
karena kau ada
ketika aku harus jadi tempat untuk laku biadab
karena kau ada
ketika nista ini dianggap dusta
Wajah setan-setan
Teriakan setan-setan
Tubuh setan-setan
Tubuh Teriak Wajah Setan
Wajah setan yang menari-nari
Wajah setan yang terbahak-bahak
Teriakan kotor setan yang membahana
Tubuh setan jalang
hadir,
dalam tiap kejap mataku
dalam tiap helaan nafasku
dalam tiap detak jantung dan ingatan warasku
Air mataku berlinang
terus dan terus
Tubuhku gemetar
tak berkesudahan
Napasku tercekat
bagai tercucuk batu
Mohon mukjizatMu, oh Tuhan
Buat aku gila,
buat aku lupa,
atau buat aku mati
Pergilah anakku,
aku benci hadirmu
aku benci bayangkan
sebuah hidup
yang buatku berpikir untuk mati
Maka dengan
linangan air mata,
kertak gigi,
dan tangan terkepal
kuhembuskan roh kematian dalam dirimu
pergilah, nak
aku tak pernah menginginkanmu
(suara hati NN korban perkosaan Black May 1998, Jakarta)
Untuk memperingati setahun tragedi kemanusiaan 13-15 Mei 1998 di Indonesia.
Air mataku berlinang
terus dan terus
ketika kuharus tiup roh anakku
Anakku?
Pantaskah kau kupanggil anakku
dan aku ibumu...
jika setiap bayangan akan gerakmu
buatku muntah dan gemetar
tak dapat kubayangkan
kau sesuci bayi cinta
hasil khayalan remajaku
juga tidak sebagai
karunia Cinta Kasih Nya
karena kau ada
ketika aku harus dihina
karena kau ada
ketika aku harus dikutuk
karena kau ada
ketika aku harus jadi tempat untuk laku biadab
karena kau ada
ketika nista ini dianggap dusta
Wajah setan-setan
Teriakan setan-setan
Tubuh setan-setan
Tubuh Teriak Wajah Setan
Wajah setan yang menari-nari
Wajah setan yang terbahak-bahak
Teriakan kotor setan yang membahana
Tubuh setan jalang
hadir,
dalam tiap kejap mataku
dalam tiap helaan nafasku
dalam tiap detak jantung dan ingatan warasku
Air mataku berlinang
terus dan terus
Tubuhku gemetar
tak berkesudahan
Napasku tercekat
bagai tercucuk batu
Mohon mukjizatMu, oh Tuhan
Buat aku gila,
buat aku lupa,
atau buat aku mati
Pergilah anakku,
aku benci hadirmu
aku benci bayangkan
sebuah hidup
yang buatku berpikir untuk mati
Maka dengan
linangan air mata,
kertak gigi,
dan tangan terkepal
kuhembuskan roh kematian dalam dirimu
pergilah, nak
aku tak pernah menginginkanmu
(suara hati NN korban perkosaan Black May 1998, Jakarta)
Untuk memperingati setahun tragedi kemanusiaan 13-15 Mei 1998 di Indonesia.
Labels:
Activism,
Contemplation,
Indonesia,
Injustice,
Poem,
Socio-Politic
Subscribe to:
Posts (Atom)