Monday, May 19, 2003

Acehmu Aceh Kita Semua


Pada tanggal 19 Mei 2003 dengan Dekrit Presiden (Keppres 28/2003) diberlakukan keadaan darurat militer di Aceh ketika terjadi kegagalan upaya damai lewat CoHA (Cessation of Hostilities Agreement). Entah kapan puisi seperti tertulis di bawah ini menjadi catatan sejarah bukan sedih, sengsara dan kegusaran yang terus berlangsung...

Acehmu Aceh Kita Semua
oleh: Putu Oka

Koran pagi datang membawa suara gagak Raiya
Meraung-raung mengitari wuwungan rumah
Dan sesaat mengepakkan sayapnya sutra hitam memayungi jagatraya
Ada apa di Acehmu Raiya, getir mengguncang, dendam membara?
Tak terhentikan melayangnya nyawa
Tak tertahankan mengucur darah
Sudah berapa dimakamkan jenasah?

Aceh terpapar di ensiklopedia Indonesia:
Luas membentang dari Ulelhe membangun ekor Bukit Barisan
dataran tinggi hijau hutan perawan, gunung- gunung, petak sawah
berhamparan coklat tanahmu, coklat kulit petani terpanggang matahari
menyimpan dan memangku bebijian harta
limapuluh delapan ribu kilometer persegi dijaga tiga juta

Jika kudengar orang bilang Aceh, Acehmu, Aceh kita semua
Seperti lantun suara guru pelajaran sejarah, perkasa melawan Belanda
Nama terus terpahat, Tjut Nyak Dien, Tjut Nyak Meutia,
aku suka perempuan perkasa
Tjik Di Tiro menghadapi Jenderal Ven der Heiden di Pidi,
Teuku Umar tetapi juga Snouck Hurgronje,
tentu engkau paham Raiya,
Tetapi sekarang apa yang terjadi di Lhoseumawe, Meunasah Blang
Apakah ada perang?
Dan kemarin disebutkan nama Ahmad Kandang,
siapa lagi di koran pagi
Letup api, deru helikopter, teriak histeris, siapa lagi
Siapa nama mereka yang tersungkur rebah,
sudahkah tercatat mereka punya nama
Janda-janda, anak lapar tanpa bapak, luka-luka, bekas diperkosa
Gunung Leuser, Gunung Ucap Mulu,

tampak termangu memperkaya catatannya
Dan menggaris-bawahi nama-nama pemimpin zaman orba

yang menjual harta
dan memalingkan muka ketika disapa: untuk siapa?

Airmata gerimis pagi, duka dunia
Langit menyembunyikan cahaya
Cahaya tersimpan di dalam kelam
Kelam memancar di wajah kusam
Wajah berdarah terhantam popor senapan
Siapa yang sudah lupa bahwa mesiu juga dibeli

dari hasil hutanmu Raiya
Makanan dan minuman dari lumbung dan
mata air bagi yang katanya penjaga merdeka,
Apa benar mereka menjaga engkau merdeka,
Apa benar engkau minta merdeka,
kita semua belum tahu siapa punya merdeka,
Kita semua ingin setara.
Adakah kursi orang-orang Jakarta terlalu tinggi tak tergapai
Dipisah barikade dikawal pasukan berani mati
Kebanyakan upeti

Langitmu, langit kita semua
Awan-awan dilangitmu terus bergayut, angin mati tidak berdaya
Hutanmu ligir, dedaunannya kemana
Tanahmu merekah, isinya disimpan siapa
Laparmu lapar kita
Lukamu luka dunia
Tangismu airmata kita
Sungaimu, gunungmu, minyakmu, padi, kelapa sawit, lada
Karet, gambir, gula, gas alam, oi Acehmu kaya raya
(tapi engkau bilang rakyat miskin)
Ada emas perak pula, begitu tulis ensiklopedia Indonesia
Aku mengiburmu Raiya: simpanlah duka di laci meja
Dosanya dibawa sendiri mati
Jika kau dengar ketuk di pintumu: intip dari lobang kunci
Jika ia meminta maaf: bukakan hati
Kemudian antarkan ke kantor polisi.

Seorang teman keponakanku, baru selesai mengikuti penataran
Mampir di rumah seperti penasaran
Berceloteh panjang lebar, tentang Acehnya, walau Aceh kita semua
Ketika diingatkan Jakarta punya banyak telinga
'saya sudah cape diam', begitulah ia sambil terus bercerita
di zaman Suharto belum digusur mahasiswa.

Kiranya ada api di dalam sekam
Walau disiram tidak bertunas damai di sanubari
Sebab apa bulan terus bertengger di batang padi
Walau malam telah lama lari
Tikus terus menari-nari
Pemuda itu menutup cerita: 'cobalah Bapak jadi rakyat Aceh
pasti Bapak seperti saya akan berceloteh.'

Raiya, engkau bertanya di dalam suratmu: Malapetaka apa lagi
dibawakannya untuk kami,
Engkau juga menulis: aku cape lahir bathin,

aku tidak bisa menangis lagi
Aku takut, suara helikopter meraung-raung,

berita kematian tiada henti
Yang di dalam tahanan dianiaya
Jerit anak, perempuan, aku tak sanggup lagi,
telah sekian malam aku tidak bisa tidur,
Aku lelah lahir bathin,
Mala petaka apa lagi dibawakannya buat kami.
Aku merindukan damai.
Tak bisa kubunuh bayang bocah kecil menangis
Ayahnya digiring ke mobil tahanan
Melambaikan tangan
Dan terus menangis
Seperti ibunya terus menangis
Seperti kami terus menangis
Menyembunyikan tangis di dalam ketakutan
Di dalam ketakutan senapan bersahut-sahutan
(Istri kehilangan suami
anak kehilangan bapak
lapar dan dahaga di alam kaya raya,
kami merindukan damai)

Raiya, hapus air mata
Acehmu, Aceh kita semua
Perjalanan jauh untuk kembali jadi manusia

Raiya, Acehmu Aceh kita semua
Ada kalanya kita terdiam
Di dalam diam kita bertanya
Di dalam diam merangkai makna.
Sambil ke sawah mengusir hama
Mendulang emas dan perak kandungan bumi
Jaga pantaimu, siapkan kuitansi bagi pembeli
Burung-burung gagak akan menukar bulunya
Putih bersih berkicau di rumah jaga
Ketika panser dan senapan disimpan di asrama

Aku menghiburmu Raiya: simpanlah duka di laci meja
Dosanya dibawa sendiri mati
Jika kau dengar ketuk di pintumu: intip dari lobang kunci
Jika ia meminta maaf: bukakan hati.
Kemudian antarkan ke kantor polisi.

Meniti benang sampai ke seberang
Jangan terjatuh di tengah jurang
Jika tegak hukum menimbang
Di jalanmulah bintang nyala terang
Menyimpan parang usai perang.

No comments: