Showing posts with label ITB. Show all posts
Showing posts with label ITB. Show all posts

Monday, September 01, 2008

Reunion in A Mine Site

I had a business trip to Batu Hijau Site – the western part of Sumbawa Island. Can you guess what kind of mine site below?




There I met some of my seniors and juniors when I studied at Geology ITB – I met Edison Ali, Samuel Tirayoh, Widi, Dudi. Iwan Munajat was once worked there but he’s now in Sulawesi working with Iip Hardjana for one of the Australian mining companies. Jokingly I offered to be a courier for their vote to elect the 2008-2011 Chairman of IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia or Indonesia’s Professional Geologist Association). *smile*

Dudi gave me a tour to the mine site. He’s considered one of the experienced geologists on the site.


I couldn’t meet Dennis as he’s out of the mine site attending a forum for professional mine geologists.

The real surprise was when I met Rishad Pohan by coincidence – when I had breakfast. We worked in the same company more than ten years ago. *smile* But, we couldn’t talk much though because I had to hurry up to prepare for a management team meeting.

Follow this link for more pictures.

Saturday, February 10, 2007

Hunt for Fossil Collection

I was loooking for my S1 and Master-degree certificates (as a requirement to join a project) and had been digging all my writing collection and knick-knacks. But, I still couldn't find them *sigh*. My goodness, I probably put them in the safety box in a bank in Toronto. And, then... accidentally I held this yellowish newspaper cut. I unfolded it, and there I read one article I wrote for Kompas Newspaper (Feb. 26, 1989) - when I was still a student in Geology Department, ITB. Geology is always a dear one in my heart, my first love, I guess. *smile*


Memburu Koleksi Fossil Devon di Kalimantan Timur
Semua literatur mengenai geologi Kalimantan Timur pasti menyebut nama M.G. Rutten sebagai orang yang menentukan adanya singkapan geologi tertua (berumur Devon atau sekitar 400 juta tahun) di Indonesia bagian barat. Tulisannya disitir banyak geolog mulai dari R.W. van Bemmelen (1949), Marks (1957), Sartono (1970), hingga Soejono (1988). Tulisan 64 tahun lalu ini menjadi bahan referensi, sementara koleksi fosilnya tidak berada di Indonesia, dan belum terdengar orang mempertanyakan lagi keberanan ilmiahnya. Masih adakah orang yang berminat membuktikan kesahihan datanya?

Pada tahun 1925, H. Witkamp yang ikut dalam Midden Oost Borneo Expeditie ke Kalimantan Timur bagian tengah, berhasil mengumpulkan sejumlah fosil. Ia menemukannya di Sungai Telen, cabang dari Sungai Mahakam, di sekitar pertemuan Sungai Telen dengan Long Hut (long = sungai).

Fosil-fosil tersebut ditemukan dalam batu gamping gelap asal terekristalisasi, yang dianggap menjadi bagian dalam Oude Lein Formation atau Formasi Sabak Tua. Formasi Sabak Tua terdiri atas sabak, batu pasir kuarsitik, graywacke, rijang yang pada beberapa tempat mengandung Radiolaria, dan batu gamping itu sendiri. Formasi ini telah mengalami metamorfisma regional - pada bagian atas epizona - dan jarang mengandung fosil.

Fosil-fosil tersebut adalah Heliolites porosus GOLDFUSS dan Clathrodictyon cf. spatiosum BOENHKE. Heliolites porosus diketahui berumur Devon Bawah - Devon Tengah di Eropa, dan berumur Devon Tengah di daerah Altai, Siberia bagian barat. Sedangkan Clathrodictyon semata-mata merupakan fosil yang khas untuk jaman Silur (400-450 juta tahun) dengan spesies Clathrodictyon spatiosum semacam itu dapat ditemukan pada bongkah tak teratur (erratic boulders) di Jerman bagian timurlaut.

Pertanyaan akan timbul. Umur apakah yang paling mewakili untuk Formasi Sabak Tua itu, jika kedua jenis fosil menunjukkan umur berbeda? Di Kalimantan apakah Clathrodictyon mempunyai kisaran umur yang melebar ke arah yang lebih muda, atau Heliolites porosus mempunyai jangkauan kisaran umur yang melebar ke arah yang lebih tua? Berdasarkan asumsi Kuhn bahwa Stromatoporoida cenderung hadir pada umur yang lebih muda untuk penyebaran yang makin ke timur, maka umur Formasi Sabak Tua yang paling mungkin adalah Devon Bawah.

Batu gamping semacam di atas dapat pula ditemukan sebagai bagian dari Fasies Danau - sesuai dengan nama lokasi tipenya - di daerah Danau Kapuas, Kalimantan Tengah, yang pelamparannya diperkirakan mencapai Kalimantan Timur - termasuk daerah yang didatangi H. Witkamp dulu. Asosiasi litologi pembentuk Formasi Danau adalah batu pasir kuarsit, serpih, sabak, diabas porfir, tufa diabas, rijang, Radiolaria, dan breksi. Formasi ini telah terdeformasi kuat berarah barat-timur, dengan penyebaran geografi pada zona sempit barat-timur sepanjang 650 kilometer. Berdasarkan asosiasi ofiolit-rijang Radiolaria, batu pasir kursit, Fussulinidae, maka umurnya diperkirakan adalah Permo-Karbon sampai Paleosen (22-280 juta tahun).


Sumbangan
Dimanakah koleksi fosil itu kini dapat dilihat? Mereka tersimpan aman di Mineralogisch Geologisch Instituut di Utrecht, Negeri Belanda.

Pada sekitar 8 windu yang lalu, orang Belanda dengan segala keterbatasan sarana bagi dunia ilmu pengetahuan pada saat itu, telah merambah hutan tropis primer bumi Kalimantan untuk mengetahui keadaan geologinya. Kini orang mungkin akan menertawakan jika ada segelintir ilmuwan berniat membuat ekspedisi memburu fosil tersebut ke Kalimantan.

Mengapa? Pertama, daerah itu tidak ekonomis dilihat dari batuan yang menempatinya, yaitu didominasi batuan metamorfosa, beberapa batuan beku, dan sedikit batuan sedimen laut dalam yang telah sedikit termetamorfosa. Kedua, bukankah pekerjaan sia-sia mengeluarkan sekian banyak tenaga dan biaya sekadar untuk mendapatkan kebenaran adanya fosil tersebut? Bukankah dunia geologi Indonesia telah mendapatkannya sebagai taken for granted dari Belanda? Apalagi yang harus dipersoalkan?

Jawabannya terletak pada kebanggaan dan keingin-tahuan saintifik geolog Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Pada beberapa dasawarsa belakangan ini percepatan sains geologi makin terasa dengan penemuan teori-teori baru seperti teori tektonik lempeng, zona subduksi, melange, dll. Setiap tambahan data geologi pasti penting artinya bagi pengevaluasian kembali setting geologi setempat.

Sebenarnya ekspedisi perburuan fosil-fosil itu tidak mempunyai kepentingan ekonomis langsung bagi perusahaan-perusahaan komersial sperti perusahaan minyak bumi, pertambangan emas atau logam lainnya, tetapi jika dirunut jalan tersiratnya akan nampaklah keuntungannya.

Inilah urutannya, mula-mula dilakukan penetapan lokasi penemuan fosil-fosil yang pernah dikunjungi H. Witkamp dulu, lalu dilakukan pengumpulan fosil di daerah setempat sebanyak mungkin. Bersamaan dengan pengumpulan fosil tentuk akan dilakukan pula perekaman data stratigrafi maupun struktur geologi daerah setempat.

Selanjutnya, berdasarkan teori-teori baru tadi dapat dilakukan evaluasi kembali mengenai sejarah geologi, kerangka tektonik, dan rekonstruksi perkembangan cekungan di Kalimantan Timur khususnya. Sumbangan yang tidak sedikit bagi perkembangan konstelasi geologi Indonesia. Adalah suatu kebanggaan tersendiri jika koleksi fosil tersebut dapat diberikan dan menetap di Museum Geologi Indonesia.

Di antara ramai gaung teriakan dan ketergesaan manusia mengejar teknologi informasi, kiranya masih dibutuhkan segelintir orang yang mempunyai gairah petualangan ilmiah untuk merambah isi daerah terpencil di Indonesia - dalam hal ini daerah Long Hut, Sungai Telen, Kalimantan Timur - untuk mempersembahkan data asli geologi Indonesia bagi dunia geologi Indonesia.

Tiada hal yang pernah sia-sia dalam dunia ilmu pengetahuan, bahkan suatu kesalahan pun punya arti untuk memacu kekritisannya.

(Elisabeth Dina M.S., mahasiswa Jurusan Teknik Geologi ITB)


Thursday, January 20, 2000

Y2K

Pak Andang, moga-moga belum terlalu terlambat untuk ikut 'cuap-cuap', karena "komidi tipu" ini patut direnungi...

Jika roh dinosaurus masih ada di luar sana pasti dia berkata sambil ngakak, "Baru 2000 tahun udah senang-senang, aku berevolusi dalam ratusan juta tahun. In a span of hundreds million years, we're evolved and these homosapiens are still wondering about us. Who cares?"

Jika Neil Armstrong waktu itu ada di bulan pasti dia menangis melihat kilatan kembang api dalam keheningan bulan yang hampa,...

Jika Tuhan melihat bumi ini dalam 24 jam itu,... apa yang ada dalam kepalaNya? Maybe He said "It's a Miller time! These kids of mine really know how to have fun. Despite many obstacles they (sometimes) can work their brain and brawn quite well."

Dua ribu tahun yang lalu aku belum ada,
dua ribu tahun mendatang akupun sudah tiada,
banyak yang terjadi dalam 2000 tahun,
seperti banyak pula yang terjadi dalam sekian miliar tahun,
Kompas terbit 80 halaman,
Tempo hampir 200 halaman (dengan harga sama)
Kembang api dimana-mana,
mulai dari New Zealand sampai London.
Oh, pasti bentuknya jadi deret ukur dalam 24 jam itu!

Manusia tanpa sadar memang suka komidi,
bisa menertawakan dan ditertawakan,
pahit tapi tak sakit hati.
Manusia dengan sadar terus mencari
posisi relatifnya dalam konstelasi kehidupan,
pada kanak-kanak Inca yang terkubur 7000 meter di atas muka laut
(siapa tahu tingginya waktu itu?)
pada suku Masai di Afrika yang masih hidup atas darah dan susu
(siapa tahu gejolak perasaannya menghadapi "kemajuan" sekarang?)

Manusia memang butuh pembatas, biar jelas "tandanya"
Alam mengalir, dari musim dingin ke musim gugur,
dari musim semi ke musim panas,
dari pagi, siang dan malam,
Jika kita fast forward mungkin tak jelas lagi batasnya.

Manusia lahir tertulis hari, bulan dan tahun lahirnya
agar dapat dihitung peruntungan kosmologinya (aha!)
agar dapat dimaknai posisinya dalam konstelasi ruang,
waktu, sosial, budaya, politik, ekonomi, dll.

Kurasa ini bukan tipu,... tapi kebersamaan yang dibangun atas nama sebuah artificial bug... tak berwujud, tak bernyawa, tapi ada dalam tiap desah hidup manusia modern. Memang kita "terpaksa" ikut-ikutan heboh soal kutu ini, karena mau ndak mau kita juga kebablasan atau katutan jadi manusia modern.

Apa seandainya yang akan terjadi jika para PR "kumpeni" itu tidak berkoar-koar soal Y2K, soal millennium bug? Bisa jadi nggak ada apa-apa,... but, if it really happens, do we have the excessed expense to handle such catasthrope? I am not an IT expert but I believe our global concerted efforts had quelled such thing to happen in grand scale.

Bill Gates "mendikte" perjalanan IT, mendominasi dunia informasi. Have others come forward with more genius innovation? DOS bukan buatan Gates tapi dia "mensosialisasikannya" dengan sukses, dan menggiring kita menuju komputer berbasis windows. Windows Explorer bukan media internet yang pertama, Netscape lebih populer dan muncul lebih dulu, tapi... semua tahu Explorer yang sekarang jadi dominan. UNIX pernah populer dan digembar-gemborkan jadi jawaban canggih untuk kebutuhan online,... akhirnya kalah dengan Windows NT. Akhir-akhir ini muncul Linux, walau masih diragukan kesuksesannya. The bottom line is that Gates is very capable to create the continuity of their products, he has a vision to command the future market and to serve the consumers towards higher comfort and friendliness.

Henry Wadsworth Longfellow pernah bilang,
"Not enjoyment, and not sorrow,
is our destined end or way;
but to act, that each tomorrow
find us farther than today
....
Lives of great men all remind us
we can make our life sublime,
and, departing, leave behind us
footprints on the sands of Time."

Kebersamaan dibangun atas kesadaran bahwa kita berjalan menuju hidup yang lebih baik.

Let's celebrate the realm of being human!
To feel success and despair,
pain and glory,
for we are considered lucky to have experienced those feelings.

Note: dimuat dalam milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknologi Geologi "GEA" ITB, untuk menanggapi Yayang yg protes akan kehebohan Y2K... salah satu baitnya begini:

tahun baru duaribu
komidi tipu
kecemasan sedunia
simbol kosong dua
dibungkus bahasa kapitalis
bernama teknologi
membutakan nalar
(bahkan tukang insinyur
yang alergi kalkulator sayur)
merampas semua logika
menghisap semua dana
yang mustinya bisa dipakai
ngasih makan pengungsi sedunia


Monday, December 20, 1999

A Home, A Root

Baca tulisan Bung Yayang aku jadi teringat tag line yang dibuat David Puttnam (tau 'kan siapa orang ini: Produser Film). "School: a place to learn, a refuge and a home." Pasti teman-teman semua mendalami sekali apa makna pernyataan di atas.

Menurut Oxford English Dictionary, "rumah" atau "home" didefinisikan sebagai "a collection of dwellings, a village, a town. The place where one lives permanently, especially as a member of a family or household." Dia juga berarti "a place or region to which one naturally belongs or where one feels at ease. A place where a thing flourishes or from which it originates.

"Menurut Puttnam, dampak globalisasi menantang nilai-nilai yang kita anggap suatu standard yang indah tentang "rumah". Rumah ada dimana-mana, ... dalam pesawat antara Jakarta-London, dalam hotel berbintang, in a crammed 1-BR in NY. Contohnya: jika kita bepergian ke luar negeri, akan terasa nyaman dengan credit card di saku ... transaksi dilakukan lintas batas. Nampaknya tinggal tunggu tanggal mainnya, segera akan beredar smartcard secara meluas sebagai alat transaksi finansial dan data yang sah. FYI, setiap pengungsi Kosovo punya smartcard, yang berisi semua data tentang dirinya, like a passport... you cannot leave home without it. So, paperless, data-yield.

Sementara itu, di lain pihak kita juga gelisah untuk tetap mempertahankan "jati diri" kita. Lihat semua gerakan "lokal" yang sekarang sering didengungkan. McDonald itu produk global. Tapi sampai Indonesia, ... dia menelurkan burger rasa rendang, pedes-pedes asikk :). Mie itu dari sononya kuning atau putih, ... eh, di Itali dia jadi merah kena saus carbonara, atau jadi kuning emas kena saus keju, dan di Indonesia dia jadi coklat tua, Mie Jawa yang item-item manis. Kroket bagi orang Jepang baru enak kalo pake saus kecap kental Kikkoman, tapi di Indonesia baru afdol rasanya kalo pake sambal atau cabe rawit. Mengapa demikian? Karena dengan setiap kumpulan rasa dan pengalaman hidup kita, kita ingin membangun suatu identitas budaya dimana kita tinggal. Dengan kata lain, kita ingin membangun "rumah", dimana kita dapat merasa dimiliki/memiliki dan merasa aman. Merasa aman,... walau darimanapun asal dan bentuknya, rasanya dapat diterima semua panca indera kita. [Ada sinyalemen, derajat keliberalan atau kedemokrasian seseorang berbanding lurus dengan tingkat kenyamanannya dalam mengkonsumsi semua macam makanan.]

Dampak globalisasi membuat banyak kita jadi merasa terasing. We are forced to face the bombardment of contradicting values. Somehow we feel that we cannot speak on the same wavelength. Diantara kerabat dari negara maju, kita masih nampak feodal, sementara diantara kerabat serumpun kita nampak aneh dan terlalu liberal.

Pertanyaannya: dimanakah tempat kita semua merasa nyaman, aman, memiliki/dimiliki, berkembang, dan belajar mandiri? Secara lokal, adalah RUMAH. Secara global, adalah SEKOLAH. Masalahnya adalah, apakah SEKOLAH yang seharusnya menjadi tempat belajar, sebuah suaka ilmu pengetahuan, dan rumah pemikiran kritis telah berjalan sesuai dengan "mimpi-mimpi" kita akan sebuah tempat pertemuan keluarga yang nyaman??

Dengan terungkapnya "kegundahan" Bung Yayang, nampaknya mimpi itu masih jauh dari kenyataan. [Bener nggak sih?]

Note: pernah dimuat dan ditanggapi dalam milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi "GEA" ITB.

Kultur, Dialektika dan Geologi

Tulisan ini merupakan tanggapanku atas tulisan, tepatnya puisi Yayang, di milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknologi "GEA" ITB.

Ini puisinya:
guru kita feodal,
geologi ilmu liberal
sedikit klenik
setengah seni
kita seperti nano-nano
bukan karena rame rasanya
tapi selalu
diisep sampe habis
tak ada lagi
yang bisa ditelan

feodalisme melahirkan peniru
bukan penemu
bahkan ketika
yang dari perancis,
jepang, jerman dan amerika pulang
keterikatan kolektifnya
tetap pada jiwa feodal,

karena menjadi guru
adalah untuk digugu
dan untuk ditiru

tapi geologi
hanya bisa jadi bermutu
maju dan punya kuku
kalau tidak digugu
apalagi ditiru

geologi perlu dirobohkan
perlu ditumbangkan
dibumihanguskan, diratakan
untuk dibangunkan

siapkah kalian,
murid-murid kehidupan
(mahasiswa, alumni, dosen, birokrat pendidikan,
peneliti, buruh, manajer)
belajar kultur
dan dialektika
geologi?


Ini tanggapanku:
Bung Yayang pasti sedang gundah gulana,
resah gelisah memikirkan hubungan ke-3 hal tsb.

guru kita memang banyak yang feodal,
sedikit yang kritis,
yang kritis terkadang tak mampu berteriak
atau menebar benih liberal
karena dirinya sendiri kadang bertanya
"apakah itu memang cocok dengan budaya Indonesia?"
dan kembali tenggelam dalam keseharian
sistem yang feodal.

Ilmu meniru itu banyak enaknya,...
ilmu tinggal menggugu apa yang tertulis dalam diktat dan dapat ponten A
(yang sekarang mungkin sudah tercetak lewat laser printer,
tapi isinya tetap sama dari jaman ke jaman).
tak perlu berpikir strategi apa yang perlu dijalankan
untuk menghasilkan manusia berbudaya,
tak perlu sakit hati jika para alumni "mengeluh" atau "menghujat"
(karena dogma abadi: perguruan tinggi adalah institusi kenyataan
yang dijalankan dalam mimpi)

memang tak semua manusia berbudaya jadi penemu,
banyak pula yang jadi peniru...
tapi peniru yang kritis,
kita belum jadi peniru kelas komposit:
yang menghasilkan mobil kelas BMW,
atau yang membedah software Microsoft hingga ke titik koma!
amboi! kita masih jadi tukang obras kata yang sinis!

masalahnya bukan siap atau tak siap.
tapi, sedia atau tak sedia untuk "sedikit" cerdas berpikir.
untuk tetap obyektif dan beretika.

jadi,... resah kali ini apa sebabnya Bung?