I was loooking for my S1 and Master-degree certificates (as a requirement to join a project) and had been digging all my writing collection and knick-knacks. But, I still couldn't find them *sigh*. My goodness, I probably put them in the safety box in a bank in Toronto. And, then... accidentally I held this yellowish newspaper cut. I unfolded it, and there I read one article I wrote for Kompas Newspaper (Feb. 26, 1989) - when I was still a student in Geology Department, ITB. Geology is always a dear one in my heart, my first love, I guess. *smile*
Memburu Koleksi Fossil Devon di Kalimantan Timur
Semua literatur mengenai geologi Kalimantan Timur pasti menyebut nama M.G. Rutten sebagai orang yang menentukan adanya singkapan geologi tertua (berumur Devon atau sekitar 400 juta tahun) di Indonesia bagian barat. Tulisannya disitir banyak geolog mulai dari R.W. van Bemmelen (1949), Marks (1957), Sartono (1970), hingga Soejono (1988). Tulisan 64 tahun lalu ini menjadi bahan referensi, sementara koleksi fosilnya tidak berada di Indonesia, dan belum terdengar orang mempertanyakan lagi keberanan ilmiahnya. Masih adakah orang yang berminat membuktikan kesahihan datanya?
Pada tahun 1925, H. Witkamp yang ikut dalam Midden Oost Borneo Expeditie ke Kalimantan Timur bagian tengah, berhasil mengumpulkan sejumlah fosil. Ia menemukannya di Sungai Telen, cabang dari Sungai Mahakam, di sekitar pertemuan Sungai Telen dengan Long Hut (long = sungai).
Fosil-fosil tersebut ditemukan dalam batu gamping gelap asal terekristalisasi, yang dianggap menjadi bagian dalam Oude Lein Formation atau Formasi Sabak Tua. Formasi Sabak Tua terdiri atas sabak, batu pasir kuarsitik, graywacke, rijang yang pada beberapa tempat mengandung Radiolaria, dan batu gamping itu sendiri. Formasi ini telah mengalami metamorfisma regional - pada bagian atas epizona - dan jarang mengandung fosil.
Fosil-fosil tersebut adalah Heliolites porosus GOLDFUSS dan Clathrodictyon cf. spatiosum BOENHKE. Heliolites porosus diketahui berumur Devon Bawah - Devon Tengah di Eropa, dan berumur Devon Tengah di daerah Altai, Siberia bagian barat. Sedangkan Clathrodictyon semata-mata merupakan fosil yang khas untuk jaman Silur (400-450 juta tahun) dengan spesies Clathrodictyon spatiosum semacam itu dapat ditemukan pada bongkah tak teratur (erratic boulders) di Jerman bagian timurlaut.
Pertanyaan akan timbul. Umur apakah yang paling mewakili untuk Formasi Sabak Tua itu, jika kedua jenis fosil menunjukkan umur berbeda? Di Kalimantan apakah Clathrodictyon mempunyai kisaran umur yang melebar ke arah yang lebih muda, atau Heliolites porosus mempunyai jangkauan kisaran umur yang melebar ke arah yang lebih tua? Berdasarkan asumsi Kuhn bahwa Stromatoporoida cenderung hadir pada umur yang lebih muda untuk penyebaran yang makin ke timur, maka umur Formasi Sabak Tua yang paling mungkin adalah Devon Bawah.
Batu gamping semacam di atas dapat pula ditemukan sebagai bagian dari Fasies Danau - sesuai dengan nama lokasi tipenya - di daerah Danau Kapuas, Kalimantan Tengah, yang pelamparannya diperkirakan mencapai Kalimantan Timur - termasuk daerah yang didatangi H. Witkamp dulu. Asosiasi litologi pembentuk Formasi Danau adalah batu pasir kuarsit, serpih, sabak, diabas porfir, tufa diabas, rijang, Radiolaria, dan breksi. Formasi ini telah terdeformasi kuat berarah barat-timur, dengan penyebaran geografi pada zona sempit barat-timur sepanjang 650 kilometer. Berdasarkan asosiasi ofiolit-rijang Radiolaria, batu pasir kursit, Fussulinidae, maka umurnya diperkirakan adalah Permo-Karbon sampai Paleosen (22-280 juta tahun).
Sumbangan
Dimanakah koleksi fosil itu kini dapat dilihat? Mereka tersimpan aman di Mineralogisch Geologisch Instituut di Utrecht, Negeri Belanda.
Pada sekitar 8 windu yang lalu, orang Belanda dengan segala keterbatasan sarana bagi dunia ilmu pengetahuan pada saat itu, telah merambah hutan tropis primer bumi Kalimantan untuk mengetahui keadaan geologinya. Kini orang mungkin akan menertawakan jika ada segelintir ilmuwan berniat membuat ekspedisi memburu fosil tersebut ke Kalimantan.
Mengapa? Pertama, daerah itu tidak ekonomis dilihat dari batuan yang menempatinya, yaitu didominasi batuan metamorfosa, beberapa batuan beku, dan sedikit batuan sedimen laut dalam yang telah sedikit termetamorfosa. Kedua, bukankah pekerjaan sia-sia mengeluarkan sekian banyak tenaga dan biaya sekadar untuk mendapatkan kebenaran adanya fosil tersebut? Bukankah dunia geologi Indonesia telah mendapatkannya sebagai taken for granted dari Belanda? Apalagi yang harus dipersoalkan?
Jawabannya terletak pada kebanggaan dan keingin-tahuan saintifik geolog Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Pada beberapa dasawarsa belakangan ini percepatan sains geologi makin terasa dengan penemuan teori-teori baru seperti teori tektonik lempeng, zona subduksi, melange, dll. Setiap tambahan data geologi pasti penting artinya bagi pengevaluasian kembali setting geologi setempat.
Sebenarnya ekspedisi perburuan fosil-fosil itu tidak mempunyai kepentingan ekonomis langsung bagi perusahaan-perusahaan komersial sperti perusahaan minyak bumi, pertambangan emas atau logam lainnya, tetapi jika dirunut jalan tersiratnya akan nampaklah keuntungannya.
Inilah urutannya, mula-mula dilakukan penetapan lokasi penemuan fosil-fosil yang pernah dikunjungi H. Witkamp dulu, lalu dilakukan pengumpulan fosil di daerah setempat sebanyak mungkin. Bersamaan dengan pengumpulan fosil tentuk akan dilakukan pula perekaman data stratigrafi maupun struktur geologi daerah setempat.
Selanjutnya, berdasarkan teori-teori baru tadi dapat dilakukan evaluasi kembali mengenai sejarah geologi, kerangka tektonik, dan rekonstruksi perkembangan cekungan di Kalimantan Timur khususnya. Sumbangan yang tidak sedikit bagi perkembangan konstelasi geologi Indonesia. Adalah suatu kebanggaan tersendiri jika koleksi fosil tersebut dapat diberikan dan menetap di Museum Geologi Indonesia.
Di antara ramai gaung teriakan dan ketergesaan manusia mengejar teknologi informasi, kiranya masih dibutuhkan segelintir orang yang mempunyai gairah petualangan ilmiah untuk merambah isi daerah terpencil di Indonesia - dalam hal ini daerah Long Hut, Sungai Telen, Kalimantan Timur - untuk mempersembahkan data asli geologi Indonesia bagi dunia geologi Indonesia.
Tiada hal yang pernah sia-sia dalam dunia ilmu pengetahuan, bahkan suatu kesalahan pun punya arti untuk memacu kekritisannya.
(Elisabeth Dina M.S., mahasiswa Jurusan Teknik Geologi ITB)
Saturday, February 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment