Monday, December 20, 1999

A Home, A Root

Baca tulisan Bung Yayang aku jadi teringat tag line yang dibuat David Puttnam (tau 'kan siapa orang ini: Produser Film). "School: a place to learn, a refuge and a home." Pasti teman-teman semua mendalami sekali apa makna pernyataan di atas.

Menurut Oxford English Dictionary, "rumah" atau "home" didefinisikan sebagai "a collection of dwellings, a village, a town. The place where one lives permanently, especially as a member of a family or household." Dia juga berarti "a place or region to which one naturally belongs or where one feels at ease. A place where a thing flourishes or from which it originates.

"Menurut Puttnam, dampak globalisasi menantang nilai-nilai yang kita anggap suatu standard yang indah tentang "rumah". Rumah ada dimana-mana, ... dalam pesawat antara Jakarta-London, dalam hotel berbintang, in a crammed 1-BR in NY. Contohnya: jika kita bepergian ke luar negeri, akan terasa nyaman dengan credit card di saku ... transaksi dilakukan lintas batas. Nampaknya tinggal tunggu tanggal mainnya, segera akan beredar smartcard secara meluas sebagai alat transaksi finansial dan data yang sah. FYI, setiap pengungsi Kosovo punya smartcard, yang berisi semua data tentang dirinya, like a passport... you cannot leave home without it. So, paperless, data-yield.

Sementara itu, di lain pihak kita juga gelisah untuk tetap mempertahankan "jati diri" kita. Lihat semua gerakan "lokal" yang sekarang sering didengungkan. McDonald itu produk global. Tapi sampai Indonesia, ... dia menelurkan burger rasa rendang, pedes-pedes asikk :). Mie itu dari sononya kuning atau putih, ... eh, di Itali dia jadi merah kena saus carbonara, atau jadi kuning emas kena saus keju, dan di Indonesia dia jadi coklat tua, Mie Jawa yang item-item manis. Kroket bagi orang Jepang baru enak kalo pake saus kecap kental Kikkoman, tapi di Indonesia baru afdol rasanya kalo pake sambal atau cabe rawit. Mengapa demikian? Karena dengan setiap kumpulan rasa dan pengalaman hidup kita, kita ingin membangun suatu identitas budaya dimana kita tinggal. Dengan kata lain, kita ingin membangun "rumah", dimana kita dapat merasa dimiliki/memiliki dan merasa aman. Merasa aman,... walau darimanapun asal dan bentuknya, rasanya dapat diterima semua panca indera kita. [Ada sinyalemen, derajat keliberalan atau kedemokrasian seseorang berbanding lurus dengan tingkat kenyamanannya dalam mengkonsumsi semua macam makanan.]

Dampak globalisasi membuat banyak kita jadi merasa terasing. We are forced to face the bombardment of contradicting values. Somehow we feel that we cannot speak on the same wavelength. Diantara kerabat dari negara maju, kita masih nampak feodal, sementara diantara kerabat serumpun kita nampak aneh dan terlalu liberal.

Pertanyaannya: dimanakah tempat kita semua merasa nyaman, aman, memiliki/dimiliki, berkembang, dan belajar mandiri? Secara lokal, adalah RUMAH. Secara global, adalah SEKOLAH. Masalahnya adalah, apakah SEKOLAH yang seharusnya menjadi tempat belajar, sebuah suaka ilmu pengetahuan, dan rumah pemikiran kritis telah berjalan sesuai dengan "mimpi-mimpi" kita akan sebuah tempat pertemuan keluarga yang nyaman??

Dengan terungkapnya "kegundahan" Bung Yayang, nampaknya mimpi itu masih jauh dari kenyataan. [Bener nggak sih?]

Note: pernah dimuat dan ditanggapi dalam milis alumni Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi "GEA" ITB.

No comments: