Friday, November 26, 2004

Negeri Orang Tertawa


Oleh: Cak Nun (Emha Ainun Najib)

Berpengalaman Dijajah
Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran diberbagai negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok.. Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka, dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.

Aliansi anti deportasi di Jakarta melaporkan hampir 3 juta kasus penindasan atas tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air. Di Terminal 3 Cengkareng airport mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh banyak yang memang menunggu disana untuk mencari nafkah. Itu membuat mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.

Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyebrang keluar negeri untuk mencari penjajah.


Tuhan Menyesuaikan Diri Pada Aturan Manusia
Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekonomian yang stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian sungai, dan kami hiasi dengan pot-pot bunga serta burung perkutut.

Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami. Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada ilmuwan yang tertarik meneliti frekuensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung, di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, ditengah kerusuhan, di gedung parlemen, ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh dari motor, kami menuding-nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan. Apalagi orang pintar.

Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan. Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon: "MEMBELA YANG BENAR." Kami sudah menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni "membela yang bayar."

Tuhan harus menyesuaikan aturan-aturan-Nya dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita. Orang-orang yang memeluk agama sudah sangat lelah berabad-abad diancam oleh Tuhan yang maha menghukum, menyiksa, mencampakkan ke api neraka. Tuhan yang boleh masuk ke rumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih sayang yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan-kesalahan kita. Sebagaimana kata-kata mutiara - "Manusia itu tempat salah dan maaf."

Kiriman: Eky Sri Handayani (Jakarta - Indonesia)

No comments: