Tragedi Mei 1998: Menyelamatkan Ingatan
by: Maria Hartiningsih
Kompas, Friday, May 12, 2006 (Teropong Nasional - page 38)
….. Sungguh menakjubkan: waktu, datang dalam kedipan, berlalu dalam kedipan, tak ada sebelum dan tak ada sesudah, lalu kembali menjadi momok yang mengusik ketenangan. Halaman itu terus-menerus dihilangkan dalam pusaran waktu, dibuang dan dihapus – tiba-tiba berdenyut lagi di dalam ingatan. Dan manusia mengatakan, “Aku mengingat…” (Nietzsche, The Use and Abuse of History)
Ketika ditemui beberapa waktu lalu, Mirah mengeluh sulit tidur dan merasa tertekan. Pekerja kemanusiaan yang aktif membantu korban kerusuhan Mei di Jakarta tahun 1998 itu mengatakan, “Perasaan aman menghilang, dan saya diliputi kecemasan.”
Ibu dua anak yang kini berusia 52 tahun itu baru menyadari penyebabnya setelah seorang temannya menelepon dan mengingatkannya peristiwa delapan tahun lalu. “Sebenarnya saya selalu mengalami hal seperti ini setiap bulan Mei tiba,” ujarnya.
Meskipun tidak ada satupun tetenger yang disisakan dari prahara kemanusiaan tersebut, Mirah tak pernah mampu membuang ingatan itu. Selama sewindu terakhir, ratusan pusat perbelanjaan dan apartemen modern terus dibangun. Bekas-bekas reruntuhan dan bau hangus daging terpanggang itu secara perlahan menguap, menjelma menjadi katedral konsumtivisme dengan bau wangi yang mengambar.
Gemuruh alat berat terus berlangsung dari pagi hingga pagi lagi untuk menimbun sisa-sisa ingatan akan ketakutan, kecurigaan, dan nestapa. Para perencana kota itu tampaknya lupa bahwa kejelitaan wajah kota tak bisa menghilangkan bayangan monster di dalam ingatan banyak warganya.
“Semakin saya berusaha melupakannya, bayangan itu semakin jelas,” ujar Mirah. Bayangan gadis yang lumpuh karena dilemparkan dari lantai tiga sebuah ruko di bilangan Jatinegara yang ia antar untuk mendapat bantuan pengobatan di Australia masih di pelupuk mata.
Juga bayangan seorang ibu dan anaknya yang menggantung diri serta seorang perempuan lain yang terjun dari apartemen di Australia setelah mengalami pemerkosaan dan penyerangan seksual di Jakarta. Bayangan tentang seorang gadis yang tak berhasil diselamatkan karena mengalami pendarahan hebat juga tak pernah pergi dari ingatannya.
“Saya merasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkan mereka. Perasaan itu susah sekali hilang. Saya sering menangis, sedih, takut, dan cemas, enggak keruan. Ini masih terus terjadi sampai sekarang, meskipun sedikit lebih cair,” ujar Mirah.
Hal yang sama dialami Siska (46), sebut saja begitu. Ia masih terus terbayang-bayang kondisi korban penyerangan seksual yang meninggal dalam pelukannya dan seorang perempuan korban yang bertahan dan berhasil melewati masa-masa yang paling kiritis dalam hidupnya.
“Aku cenderung menyalahkan diri terus-menerus. Sempat punya pandangan negatif terus sama orang lain, marah, dan sedih berlarut-larut,” ujarnya.
Lebih parah lagi karena penderitaan psikologis akibat vicarious trauma (trauma akibat trauma orang lain) itu membawa berbagai penyakit yang cukup serius. Ia harus mencari cara sendiri untuk mengelola traumanya. “Kalau aku tidak berlatih yoga dan meditasi, habislah aku…..”
Mencemaskan
Pekerja kemanusiaan yang lain, seperti Melati (60-an) dan Menur (40-an), malah merasa situasi beberapa bulan terakhir ini kian mencemaskan. “Malah akhir tahun lalu sempat terdengar rumor seperti yang terjadi beberapa waktu sebelum kerusuhan Mei di beberapa bagian Jakarta,” ungkap Menur.
Rasa ketidakamanan itu boleh jadi merupakan imbas dari teror terhadap para pekerja kemanusiaan, dokter, petugas rumah sakit, dan warga Tionghoa saat dilakukan pencarian kebenaran tentang terjadinya pemerkosaan dan penyerangan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei di Jakarta.
Laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan mengatakan, jauh di bawah pusaran sengketa politik yang terjadi saat itu, terus berlangsung cara-cara teror dan ancaman dengan pola lama: brutal, sistematis, penuh kekerasan, dengan mengerahkan para preman, aparat dan orang-orang bayaran.
Situasi itu membuat banyak orang memilih diam, meski ia menyaksikan perbuatan keji itu. “Situasinya tegang sekali. Banyak ancaman dan jebakan yang dilakukan secara kasar sampai yang paling canggih,” kenang Ester Jusuf dari Solidaritas Nusa Bangsa.
“Tiba-tiba ada telepon, suara perempuan menangis, memberitahu anaknya diperkosa. Mereka kasih alamat, ternyata disana tidak ada apa-apa. Malah tiba-tiba ada sekelompok orang mengaku sebagai wartawan memprovokasi kita supaya mengeluarkan pernyataan tentang pemerkosaan,” sambungnya.
Mirah merasa terus diikuti saat menjalankan kerja kemanusiaan. “Kamar hotel teman dari organisasi yang akan membantu korban dirawat di Australia diobrak-abrik. Selalu ada orang yang mengawasi ketika kita berbicara di lobi,” ujarnya.
Tanpa Jejak
Dari tahun ke tahun, semakin banyak korban dan keluarganya yang tidak diketahui lagi jejaknya. “Bahkan yang survive pun hilang,” sambung Menur.
Itu juga yang dialami Lena (71). Satu dampingannya yang masih bertahan hidup dalam ingatan tak penuh, Sien Nio, sebut saja begitu, menghilang dari tempat ia rawat di wilayah Jakarta Utara sejak Desember tahun lalu. Perempuan itu ditemukan dalam keadaan shock berat dan nyaris telanjang dengan memar di sekujur tubuh. Ia dikerumuni empat laki-laki pada petang tanggal 14 Mei 1998.
Keluarganya tidak diketahui ada di mana. Terakhir ia dititipkan selama tiga tahun di sebuah tempat rehabilitasi pengguna narkoba. Tampaknya juga tidak ada ahli jiwa yang terus mengikuti perkembangannya. Ketika ditemui setahun lalu, tatapan matanya masih kosong. Bicaranya ngelantur.
Banyak pula keluarga yang sudah tidak mau berhubungan lagi dengan para pendamping. Entah karena kecenderungan ingin melupakan hal-hal yang buruk dalam hidup, entah karena masih dibayangi terus oleh kecemasan dan ketakutan.
Ketakutan, prasangka, dan rasa tidak percaya itu terus terjadi meskipun pemerintah melalui Presiden BJ Habibie pada tanggal 15 Juli 1998 menyatakan penyesalan mendalam atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan saat kerusuhan Mei dan mengutuk berbagai aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan di berbagai tempat.
Toh, pernyataan itu tidak mengakhiri kontroversi terjadinya pemerkosaan dan penyerangan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa, bahkan terus disangkali. Ini tampak dari terjadinya perpecahan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah tanggal 23 Juli 1998.
Lalu muncul suara-suara yang membandingkan signifikansi besarnya korban tewas di pusat-pusat pertokoan yang jumlahnya mencapai lebih dari 1.200 jiwa (data Tim Relawan) dengan “hanya” 52 korban pemerkosaan yang berhasil diverifikasi.
Suara yang bernuansa adu domba itu mengambinghitamkan semua korban. Mereka menempelkan stigma penjarah terhadap korban yang tewas dan keluarganya, serta melekatkan trauma dalam hidup korban pemerkosaan dan juga keluarganya.
Penyangkalan terjadinya pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa juga tampak dengan ditolaknya laporan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Kekerasan terhadap Perempuan, Radikha Coomaraswamy, yang menjawab soal “bukti”. Namun, laporan itu ditolak Pemerintah Indonesia dalam sidang di PBB.
Ahli hukum dari Universitas Padjadjaran, Prof Dr Komariah, mengatakan perangkat hukum di Indonesia masih belum menanggapi pemerkosaan dalam situasi kerusuhan atau konflik sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada kriminalisasi terhadap pelaku, dan menganggap pemerkosaan dalam situasi seperti itu sebagai tanggung jawab individual.
Pemahaman tentang “bukti” dari pemerkosaan yang mengalami pembaruan dan sistem peradilan internasional sama sekali belum menyentuh sistem dan pranata hukum di Indonesia.
Komariah menyayangkan temuan TGPF yang belum ditindaklanjuti sampai saat ini. Padahal, dalam temuan itu jelas disebutkan bahwa sebagian besar kasus pemerkosaan adalah gang rape.
Laporan TGPF yang diverifikasi oleh oleh Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM setebal 6.000 halaman yang distempel, dilegalisasi ini terus terombang-ambing antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Berkas itu dikirimkan ke kejaksaan tahun 2003, tetapi dikembalikan lagi ke Komnas HAM karena dianggap “belum lengkap”. Tahun-tahun berikutnya, pembicaraan tentang berkas itu makin menyurut.
“Selama sisa rezim yang represif masih ada, selama itu pula kebenaran sulit mendapatkan tempat. Sekarang perlindungan HAM semakin terpuruk. Banyak orang ketakutan karena banyak kekerasan dilakukan atas nama HAM,” ujarnya.
Ketakutan, kecemasan, dan hasrat untuk membuang seluruh pengalaman buruk dari hidup adalah pupuk yang sangat subur bagi upaya pelupaan dan impunitas. Beberapa halaman sejarah dari perjalanan bangsa ini, untuk waktu yang panjang, tampaknya masih akan terus terbiar dengan tumpahan tinta hitam. Dan bangsa ini tampaknya masih terus ketakutan menatap wajahnya sendiri…..
Sunday, May 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment