May 14, 2006
Prof Dr Franz Magnis-Suseno: Optimis 75 Persen
By: B Josie Susilo Hardianto
Perhelatan ulang tahun Prof Dr Franz Magnis-Suseno pada petang hari Jumat, 12 Mei 2006, berlangsung sederhana di halaman Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Perayaan itu ditingkahi guyuran hujan, juga getar suasana yang mengingatkan pada prahara kemanusiaan di Jakarta dan di beberapa kota di Indonesia, delapan tahun lalu.
Sulit menengarai apakah ia gembira atau kikuk dengan perayaan itu. "Saya memang tidak terbiasa dengan perayaan ulang tahun seperti ini," ujarnya. Hal yang lain adalah, karena sebenarnya hari itu bukan tanggal kelahirannya.
Romo Magnis—begitu ia disapa—lahir tanggal 26 Mei 1936 sebagai anak pertama dari lima bersaudara, di desa kecil di Jerman Timur, Eckerdorf, Silesia, Kabupaten Glatz, daerah paling timur Jerman yang menjorok ke Polandia.
Ketika teman-temannya ingin merayakan ulang tahunnya ke- 70, muncullah soal itu. Tanggal 18 Mei Romo Magnis sudah berangkat ke Jerman untuk tiga bulan. Sudah pasti acara tidak mungkin berlangsung pada hari H.
"Mereka ragu-ragu memajukan tanggal, karena buat orang Jawa berarti menantang. Tetapi saya bilang, tidak usah takut, majukan saja. Kematian saya sudah diputuskan di atas jauh sebelum ulang tahun saya ke-70," ujarnya di ruang kerjanya yang penuh buku di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, pekan lalu.
Kepergiannya ke Jerman kali ini tampaknya sangat berarti karena ia akan mengunjungi lagi desa kelahirannya.
"Saya pernah kembali tahun 1992. Kebetulan ada ziarah beberapa rohaniwan dengan umat kelahiran di situ," sambungnya. Kali ini pun ada yang menawari, karena sulit pergi sendiri dengan uang saku yang sangat terbatas.
Desa itu termasuk tiga wilayah yang diserahkan ke Polandia dan Rusia pasca-Perang Dunia II.
Hubungan dengan Polandia secara politis masih terganggu, "Karena Polandia tidak pernah minta maaf atas pengusiran 3,5 juta orang Jerman dengan sangat kejam. Sama kejamnya dengan Jerman dulu memperlakukan orang Yahudi," ujar Romo Magnis. Suaranya terasa bergetar.
Beruntung keluarganya sudah mengungsi ketika peristiwa itu terjadi. Usianya saat itu delapan tahun. Namun keluarganya harus kembali mengalami pengusiran oleh Ceko karena tinggal di daerah Jerman-Ceko. Setelah perang, Ceko masih membersihkan tiga juta orang Jerman.
"Dari 14 juta orang Jerman termasuk yang di Polandia, Romania, Hongaria yang diusir, sampai dua juta yang mati. Cukup banyak juga," sambungnya.
Sejarah di Jerman itu menguatkan keyakinannya bahwa proses menuju kebangkitan demokrasi tidak linier. Itu sebabnya ketika diminta berbicara di panggung kemarin malam ia merasa optimis 75 persen dengan masa depan Indonesia.
"Yang dulu diramalkan tidak baik, tidak terjadi," ujarnya. Memang Indonesia mengalami kekecewaan-kekecewaan, tetapi banyak hal yang baik yang juga dicapai.
"Dulu pembicaraan tentang disintegrasi sangat keras, sekarang menyurut. Fanatisme ada, tetapi sekarang justru tampak ke arah hubungan yang lebih akrab antar-agama dibandingkan 20-30 tahun lalu. Memang ada ambivalensi, tetapi kita tidak perlu takut," katanya.
Optimisme ini tidak tercetus secara eksplisit dalam wawancara khusus dengan kami.
Saat itu ia mengingatkan beberapa hal serius yang dihadapi bangsa ini.
"Pancasila adalah kunci bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Penyalahgunaan oleh Orde Baru bukan berarti Pancasila jelek. Hanya Pancasila yang menerima pluralitas bangsa," ujarnya.
Moralitas budaya yang dituangkan dalam pola-pola sempit ideologis akan menggerogoti kreativitas, kekuatan, dan keuletan kultural bangsa.
Seluruh masalah itu tidak lepas dari proses modernisasi yang secara mendadak merusak struktur-struktur masyarakat tradisional, dan kelas bawah mendapat bagian paling buruk. Cara hidup, keterampilan, juga keprigelan sosial tidak tertampung, sehingga mereka terisolasi.
"Kesosialan dan gotong royong menghilang. Setiap orang hanya bisa hidup kalau secara individual mempunyai kontrak kerja, atau punya sawah untuk bekerja ," sambungnya.
Orang di kampung mungkin masih cukup merasakan kebersamaan tetapi tidak sangat membantu kalau dia tidak setiap hari bekerja dan mendapat upah.
"Ini individualisasi. Lalu orang dengan segala macam kesopanan, tradisi saling membantu, dilempar ke kota besar. Maka rakyat kecil hidup di dalam kediktatoran kompetisi yang keras. Ya dia pun menjadi keras."
Romo Magnis memberi contoh tukang parkir yang berebut lahan dan menggunakan kekerasan. Itulah hukum di jalan.
Korupsi elite ia lihat sebagai masalah paling besar saat ini. "Gagasan melayani rakyat tidak ada, dan saya kira ini masih sisa dari feodalisme. Jadi kita mempunyai masalah pada elite, bukan pada rakyat," tegasnya.
Situasi internasional dan sikap hegemonial Amerika juga membawa suatu suasana yang pengaruhnya sampai ke Indonesia.
"Ideologi sekuler sudah kehilangan daya tarik. Yang tinggal adalah agama. Jadi kita mengalami reagamanisasi, tetapi sering dalam bentuk yang sempit," ia menyambung.
Ungkapan goodwill yang mengharukan dari pejabat tinggi negara, menurut dia, tidak mencukupi untuk menunjukkan upaya pembangunan ekonomi rakyat, penegakan hukum, dan sikap terhadap sektarianisme.
Ia berharap akhir tahun ini sudah kelihatan terang di akhir terowongan. Kalau tidak situasi akan menjadi lebih serius. "Sekarang saatnya berbuat," katanya.
Sebagai pemerhati budaya Jawa melalui pewayangan, Romo Magnis melihat situasi Indonesia saat ini, "Masih gonjang-ganjing. Zaman edan sedikit."
Tokoh wayang yang diperlukan adalah Brotoseno, simbol orang yang mau bertindak.
Apa pun yang terjadi, Romo Magnis tidak menyesal menjadi warga negara Indonesia. Inilah Tanah Air keduanya—ia menjadi warga negara Indonesia tahun 1977—yang ia pilih untuk memberikan baktinya pada kemanusiaan.
"Andai bukan warga negara Indonesia, saya akan sulit melakukan apa yang saya lakukan sekarang. Mungkin saya masih bisa menulis buku filsafat, memimpin misa dan sebagainya, tetapi mungkin saya sulit mengidentifikasi situasi bangsa dan negara."
Sebagai warga negara Indonesia ia merasa cukup diterima. "Tak ada yang keberatan saya tidak total kehilangan identitas Jerman. Orang sering bilang ’Romo Magnis lebih Jawa dari orang Jawa’. Itu sebenarnya sama saja mengatakan, ’Romo lebih baik, tetapi tetap tidak seperti orang Jawa’ ha-ha-ha...."
Jawa adalah "gerbang budaya" memasuki Indonesia tahun 1961. Berbeda dengan sajak Rudyart Kipling "The Strangers" yang dikutip ilmuwan susastra Melani Budianta, Romo Magnis memasuki gerbang halaman budaya "Yang Lain" dengan "kulonuwun", dengan empati, tanpa menghakimi.
Saat memberikan orasi bertema "Masyarakat Terbuka" dalam perayaan itu, Melani mengatakan, banyak orang Jawa mengenal diri dan mendapatkan rumusan konseptual yang bermakna, justru dari buku-buku yang ditulis Romo Magnis tentang kejawaan.
Ini dikuatkan oleh ahli etika dari Universitas Atma Jaya, Alois A Nugroho. Ia mengaku belajar Jawa dari Romo Magnis, bukan dari kerabatnya yang ahli Jawa.
Begitu menjadi warga negara, Romo Magnis merasa perlu mengindonesiakan namanya. Ketika Romo Kuntoro, koleganya yang ahli Jawa, menyebut nama Suseno, ia langsung merasa cocok, karena "Bunyinya enak."
"Orang mengira Seno berasal dari Brotoseno atau Ontoseno. Bukan. Tokoh wayang kesayangan saya adalah Karno (saudara seibu Pandawa, tetapi di pihak Kurawa). Dia tokoh yang menarik, simpatik, tragis sedikit."
Sekitar 10 tahun lalu, Romo Magnis menemukan nama Karno adalah Basuseno Suryoputro. "Ada Suseno-nya ternyata. Jadi saya terhibur."
Jadilah namanya Franz-Magnis Suseno. Gelar kebangsawanannya, Graf, sudah dihilangkan sejak masih memegang paspor Jerman.
Kenapa? "Susah, nanti dianggap sama dengan Steffi Graf haha-ha-ha...."
Awal tinggal di Indonesia, Romo Magnis sempat menjadi pendamping SMA Kanisius Jakarta 1962-1964. Muridnya antara lain menjadi politisi ternama, seperti Akbar Tandjung dan Marzuki Darusman.
"Saya kira mereka cukup baik. Kita tidak bisa berharap politiknya sama seperti yang kita kehendaki," ujarnya.
Kini di usianya yang ke-70, Romo Magnis masih naik vespa ke mana-mana. Ia memilih vespa karena bersih, jarang rewel mesinnya dan ada ban serep. "Pencuri juga tidak tertarik ha-ha...."
Padahal, ia beberapa kali jatuh dari vespa, malah sempat dua kali dirawat di rumah sakit karena itu. Pernah Vespa-nya diseruduk mobil. Tetapi ia berdiri tenang sementara Vespa-nya nyelonong.
Ia juga pernah lupa meninggalkan anak yang diboncengkan. Karena menduga anak itu jatuh dari Vespa, ia bingung dan lalu menelepon ke unit gawat darurat di banyak rumah sakit.
Kedisiplinannya banyak menjadi inspirasi. Hari-harinya yang penuh tidak mengurangi waktunya untuk berolahraga. Sampai sekarang ia masih mendaki gunung. Hampir seluruh gunung di Jawa sudah ia daki. Pekan lalu mendaki Gunung Gede, tetapi tidak sampai ke puncak.
"Cuma untuk latihan supaya tahu apa saya masih bisa naik gunung di Jerman. Persoalannya, kalau naik masih bisa, tetapi saya kurang yakin apa bisa turun. Apa artinya bisa naik kalau tidak bisa turun?"
Orang bisa mengartikan kalimat itu secara harfiah, karena ia memang punya persoalan di kaki, yang membuatnya tidak bisa lagi lari mengitari kompleks perumahan di sekitar STF. Namun bagi yang memahami siapa Romo Magnis, kalimat itu bisa berarti lain.
Sulit memisahkan Romo Magnis dari STF Driyarkara. Ia tidak cuma membidani lahirnya pada tanggal 1 Februari 1969. Tetapi ia juga membangun dan membesarkan "ruang publik intelektual" itu dengan penuh kesetiaan.
Dengan mengenakan kemeja batik, satu dari kemejanya yang "itu-itu saja", dalam perayaan kemarin, ia menyebut nama mereka yang membantu STF satu per satu.
Di antaranya, Prof Dr Fuad Hasan yang bersedia mengajar tujuh mahasiswa pertama.
"Honornya Rp 800 satu jam ya Pak... Rp 1.600 untuk dua jam," kata Magnis. Kepada Prof Dr Toety Heraty, ia memberi potongan tumpeng secara khusus.
Usman Hamid dari organisasi nonpemerintah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengingatkan bahwa Romo Magnis adalah salah satu penggagas Kontras bersama almarhum Munir, dan beberapa tokoh agama yang lain, saat sistem politik di Indonesia berada di puncak kerepresifan, tanggal 20 Maret 1998.
Pernyataan Usman ditanggapi dengan menyatakan, tindakan itu didorong oleh keinginannya untuk mencari tahu keberadaan Petrus Bimo Anugrah, salah satu muridnya yang "hilang".
Jadi ada alasan kemanusiaan di balik keterlibatannya di wilayah-wilayah yang "berbahaya" itu. Bahwa pilihannya sering kali membuat dia berada di wilayah "perbatasan" yang berisiko, itu juga tidak bisa dimungkiri.
Melani mengingatkan, Romo Magnis tidak enggan berhadapan dengan pihak yang bertentangan pendapat dengannya, dan mengajak berdiskusi tanpa mengubah posisi atau prinsipnya. Itu juga terjadi ketika bukunya tentang Marxisme kena sweeping gerakan antikomunis.
Tampaknya ia tak punya ketakutan dan keraguan atas pilihan-pilihannya dalam hidup. Ketika ditanya apakah dia menyukai kehidupannya, ia menjawab, "Saya merasa pada tempatnya."
Mungkin itu termasuk bahwa ia tidak pernah patah hati dan tidak pernah mematahkan hati orang. Itulah jawabannya ketika ditanya seorang remaja dalam misa minggu panggilan di Kapel Kanisius Jakarta, Minggu (7/5) pagi.
Sunday, May 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment