Sunday, May 21, 2006

Black May 1998: 8th Commemoration (1 of 4)

It's May again... for the 4-season countries on the northern hemisphere, it is the spring time – a rejuvenation period of the nature's cycle – when we can see the flowers bloom, we can smell the trees, flowers, and the spring breeze,.. when we know for sure that there's "an opening" and "a closure" for the cycle of season.

However, May Tragedy or also known as Black May has yet a closure – May always brings one of the darkest collective memories in Indonesia, especially Jakarta. It is already sewindu (one cycle that equals to eight years in our time), but no one was ever brought to justice, we have not got any satisfactory closure to this tragedy.

Following are what I can collect as a commemoration to this tragedy... we need to keep the spirit on, we cannot forget what happened during that time to the victims of May 1998 until the victims and their families as well as Ibu Pertiwi get justice. It is in Indonesia language. These series of writings provide us with perspective about the Indonesia's current stage in relation to this tragedy and reformation. For my CCEVI friends who are going to hold May Memorial in Toronto on May 27, I wish you the strength and perseverance to keep on doing this.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

May 11, 2006
Seni Budaya
Kambing Hitam Reformasi dalam Ketoprak

by: Susi Ivvaty


Tuku brondong diwadhahi kanthong/ Bagong kejeglong kesenggol bokong/ Timbang ndomblong mendhing nyonthong/ Ngomong-ngomong negara kobong [Membeli brondong dimasukkan kantong/ Bagong terperosok tersenggol bokong/ Daripada bengong lebih baik ngomong/ Membicarakan negara yang sedang kobong (terbakar)].

Kidungan Tjap Tjonthong itu mengawali pertunjukan ketoprak berjudul Putri China oleh Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong Djogdjakarta, Selasa (9/5) di Bentara Budaya Jakarta. Pertunjukan yang digelar bersama-sama pameran lukisan Hari Budiono dan pameran foto wartawan Kompas tersebut diusung Kelompok Kompas Gramedia untuk memperingati sewindu reformasi.

Ketoprak Putri China merefleksikan peristiwa di negeri Pedang Kemulan menjelang kejatuhan Prabu Amurco Sabdo. Putri China dijadikan kambing hitam untuk mengalihkan persoalan dan melanggengkan kekerasan.

Isinya serius, tetapi kemasannya sangat jenaka, khas ketoprak. Dengan bahasa separuh Jawa separuh Indonesia, ketoprak "mini pemain" ini membuat penonton yang memadati pelataran Bentara Budaya Jakarta tak berhenti terbahak-bahak.

Kelompok yang terbentuk pada tahun 2004 ini memang lahir dari sebuah kegelisahan. Budayawan dan rohaniwan Sindhunata kemudian turut serta memberi ide-ide—dengan mencairkan isi suatu teori tertentu—untuk berbagai pentas kelompok ini. Dengan humor satir, kelompok ketoprak ini mengangkat isu-isu kekerasan dengan enteng.


Negeri kacau
Diawali dengan gunungan dalam siluet, pertunjukan mulai memotret sebuah negeri antah-berantah yang tidak tata, titi, tentrem, dan karta raharja (tenteram dan sejahtera). Prabu Amurco Sabdo (diperankan Den Baguse Ngarso) di Kerajaan Pedang Kemulan digambarkan sebagai sosok yang tamak dan berkuasa.

Suatu ketika Prabu beserta Senopati Gurdo Paksi (Marwoto Kawer) dan Patih Gagak Abang (Novi Kalur) tengah berkumpul, membicarakan negeri yang makin kacau karena banyak demonstrasi. Ketiganya lalu berpesta.

Namun, ketika para demonstran makin mendekati istana, Raja kebingungan dan memerintahkan Gurdo Paksi dan Gagak Abang menghabisi mereka. Namun, Gurdo Paksi menolak. Ia kemudian menjumpai Sioe Lien, warga keturunan Bangau Putih, yang sedang resah.

Keresahan meluas lantaran beredar kabar bahwa semua warga Bangau Putih akan dimusnahkan. Sementara warga Bangau Putih diperkosa dan dibantai, Sioe Lien ditangkap, dijadikan kambing hitam permasalahan.

Para demonstran berhasil menyerbu istana dan Gurdo Paksi memaksa Raja untuk lengser. Raja pun terpaksa lengser dan memilih orang lain menjadi raja baru (yang tetap diperankan oleh Den Baguse Ngarso). Intinya, raja berganti, tetapi karakternya tetap sama saja. Orangnya bisa berbeda, tetapi peraturan dan ketamakannya sama saja.

Adegan ini pun oleh mereka masih bisa dibuat kocak. "Lho, kok Prabu lagi?" tanya Marwoto. Den Baguse menjawab, "Pemainnya kurang."

Sindiran kocak memang selalu disisipkan dalam setiap adegan ketoprak ini, yang istilah Jawanya guyon parikeno. Novi Kalur berkata, "Kemiskinan di negeri ini berkurang, dari 40 persen menjadi 15 persen." "Yang 25 persen?" tanya Den Baguse. "Mati semua," jawab Novi. "Bagus. Kalau begitu, yang 15 persen dibunuh sekalian," timpal Den Baguse.

Soal demonstrasi, mereka juga menyindir, "Uyak uyuk, lari ke sana kemari dibayar Rp 25.000. Nggebuk (memukul) polisi Rp 150.000."

Mereka juga menyuguhkan dagelan segar sesuai karakter para pemainnya. Marwoto dengan umpatan-umpatannya yang khas, Kirun yang terus mengoceh, juga Den Baguse yang biasa melawak dengan intonasi yang khas, sedikit tetapi mengena.

Lontaran jenaka tersebut, misalnya, ketika Den Baguse berkata, "Justisia non erektus, keadilan tak bisa ditegakkan," yang lalu dijawab oleh Marwoto, "Four health five completely, empat sehat lima sempurna." Ya tidak nyambung.


Kambing hitam
Pergelaran Putri China ini berbarengan dengan diluncurkannya buku karya Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, di Bentara Budaya Jakarta dan Balai Pemuda Surabaya. Lakon Putri China sendiri diangkat dari bagian terakhir buku itu.

"Bagian itu membahas, bagaimana rivalitas manusia meledak menjadi kekerasan di tanah Jawa ini mau tak mau harus dikosongkan. Pengosongan itu ditimpakan kepada kelompok yang kebetulan etnis Tionghoa, dan terstigmakan sebagai kambing hitam," kata Sindhunata.

Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama dalam orasi budayanya mengatakan, orang mempunyai kecenderungan meniru orang lain dan ini menimbulkan rivalitas. "Rivalitas ini menimbulkan kekerasan dan pada akhirnya akan mencari kambing hitam." Siapa yang mau menjadi kambing hitam?

No comments: