Masa Lalu Ada di Sini
by: Maria Hartiningsih
Kompas, Friday, May 12, 2006 (Teropong Nasional - page 39)
Tragedi Mei di satu sisi juga membangkitkan solidaritas lintas ras, kelas, agama, dan etnis. Masa-masa itu juga merupakan kebangkitan intelektual, khususnya perempuan, untuk menolak rasisme dan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Meskipun pengungkapan mengenai kasus-kasus pemerkosaan masih tetap sulit, dan teror serta ancaman masih terus dilancarkan, banyak penulis, penyair, artis, pekerja seni, melahirkan karya-karyanya untuk mengekspresikan keprihatinan mereka dan menyelenggarakan kegiatan kebudayaan.
Ilmuwan susastra Melani Budianta mencatat, pada tahun 1999, cerpen Seno Gumira Ajidarma mengenai pemerkosaan dalam kerusuhan Mei dibacakan di banyak kampus di berbagai kota di Jawa, sebagai bagian dari upaya membangkitkan kesadaran melawan rasialisme dan kekerasan terhadap perempuan.
Pada bulan Juli 1999, para seniman teater menyelenggarakan diskusi publik pertama di Taman Ismail Marzuki Jakarta dengan topik China di Indonesia.
Diskusi yang penuh keterbukaan itu merupakan yang pertama setelah 30 tahun, berlangsung damai, diakhiri pembacaan puisi dan doa bersama di depan lukisan untuk memperingati setahun tragedi Mei.
Peristiwa yang bak halaman kosong dalam sejarah resmi bangsa ini diisi dengan penuh imajinasi oleh sastra. Marga T tahun ini akan meluncurkan Nozuma III.
Novel ini mengisahkan tentang gambaran mengerikan yang telah diketahui luas: perkosaan brutal yang dialami seorang perempuan Tionghoa di Indonesia, pembunuhan saksi yang akan melakukan testimoni di New York dan testimoni yang tidak manusiawi dari psikolog – akibat tekanan yang berwajib – untuk menyatakan bahwa korban meninggal akibat penyimpangan seksual oleh ayahnya sendiri.
Richard Oh, salah satu dari novelis pertama Indonesia yang menulis dalam bahasa Inggris, menulis Pathfinders of Love pada tahun 1999, yang merangkai cerita dengan bahan-bahan yang didapatkan dari berbagai kejadian yang beredar di kalangan teman dan aktivis.
Dengan cara bertutur yang novelistik, Seno Gumira Ajidarma dalam Clara dan Yusrisal KW dalam Imajinasi Buruk melalui narasinya mengisahkan tentang kebenaran hakiki yang sulit dipahami.
Chavchay Syaifullah, penulis novel Sendalu, menurut Melani, mengakui ia menulis cerita tentang bagaimana seseorang menjadi pemerkosa karena dibayang-bayangi peristiwa yang sangat buruk, setelah bertemu dengan laki-laki yang dengan bangga membual tentang keterlibatannya dalam tragedi Mei sebagai pemerkosa bayaran.
Semua ini memperlihatkan bagaimana sejarah bisa ditulis dengan cara lain…..
Dari benua lain, seorang perempuan terus berteriak mencari keadilan melalui berbagai tulisan. “Aku mengalami peristiwa yang jauh dari norma keadaban manusia pada tanggal 14 Mei di pinggir jalan sekitar Jelambar. Duniaku terbalik hanya dalam waktu kurang dari satu jam….”
Saat itu, Kenanga, sebut saja begitu, sedang mempersiapkan ujian negara untuk mendapatkan gelar dokter. “Dan bulan depan… aku menikah. Usiaku 26… Aku tidak tahu siapa yang membawaku ke rumah sakit. Ketika tersadar, aku merasakan kesakitan yang luar biasa di bagian bawah perut. Aku bahkan sama sekali tidak bisa menggerakkan kedua kakiku. Aku sangat ketakutan dan berharap ini hanya mimpi buruk. Aku terus berkata pada diriku, ‘Aku harus mempersiapkan ujian negara, Waktunya tinggal 11 hari…’”
Kenanga berangkat ke benua lain pada bulan Januari tahun 1999. Luka batinnya menganga dalam. Ia mengalami penderitaan yang menetap karena organ reproduksi di bagian bawah tubuh yang mencirikan simbol keperempuanannya, dihancurkan.
Psikiaternya di tempat yang baru itu memintanya untuk terus menulis untuk mengungkapkan segenap perasaannya. Satu tulisannya masuk dalam daftar pendek sutau kompetisi penulisan yang diselenggarakan oleh suatu yayasan internasional untuk orang cacat. “In my case, womb damage….”
Menolak Pelupaan
Bagi kelurga korban tewas yang distigma sebagai “penjarah” dan dikambinghitamkan dalam kerusuhan Mei, perjuangan melawan pelupaan dipahami sebagai perjuangan melawan otoritarianisme.
Salah satu cara untuk terus mengingat adalah melakukan kegiatan setiap tahun di tempat-tempat di mana banyak korban tewas. “Tetapi, saya belum bisa upacara tabur bunga di mal, karena belum berani masuk mal,” ujar Ruminah, tentang upacara setiap tahun di halaman Mal Citra Klender yang dibangun di atas bekas reruntuhan Jogya Plaza.
Ruminah adalah ibu dari Igun (12) yang tewas ketika Jogya Plaza di Klender dibakar pada tanggal 14 Mei 1998. Diperkirakan, sekitar 400 orang dewasa dan anak-anak tewas di tempat itu.
Perempuan ini adalah salah satu warga yang menyaksikan apa yang terjadi sebelum Jogya Plaza dibakar. Ia melihat dengan jelas bagaimana bangunan besar itu dibakar, dan menengarai tipe orang-orang yang melakukannya.
Ia sempat dikejar sebuah mobil kijang ketika memutuskan pergi ke kantor polisi Pulo Gadung untuk melaporkan hilangnya Igun. “Ada cewek… ada cewek….” Ia mendengar teriakan laki-laki di dalam mobil itu. Karena melihat gelagat tidak baik, ia bersembunyi dibalik semak-semak. Mobil kijang itu berhenti. Penumpangnya berusaha mencari, tetapi gagal. “Saya mendengar mereka menumpat ‘diancuk’!”
Igun “ditemukan” di RSCM di antara tumpukan mayat yang terbakar. Di situ Ruminah menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. “Ada mayat seorang ibu yang sedang hamil,” ujarnya.
Meski tidak terlalu yakin mayat yang ia bawa pulang itu adalah mayat Igun, ia tetap bertekad membawanya. Niatnya membuatkan makam buat Igun supaya kalau rindu bisa mengunjunginya setiap saat.
Sekitar 12 hari setelah Igun dimakamkan, beberapa kali ia menerima telepon dari orang tak dikenal pada tengah malam. Ia diancam untuk tidak bercerita kepada siapapun soal musibah yang ia alami.
Selama beberapa bulan Ruminah mengalami trauma yang serius. Ia tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Berkat bantuan dokter, kondisi fisiknya mulai pulih, tetapi tidak kondisi kejiwaannya.
Menolak Pembandingan
Dalam proses penyembuhan itu, ia bertemu dengan para relawan yang mendampinginya. Ruminah kemudian mengalami proses pembangkitan kesadaran tentang peristiwa politik di balik tewasnya Igun. Sejak itu, ibu empat anak itu memasuki dunia aktivisme.
Bergandengan tangan dengan keluarga korban yang lainnya, ia merasakan berkeringat dalam terik matahari ketika melakukan aksi. Cintanya kepada Igun bertransformasi menjadi energi untuk memperjuangkan hak korban dari berbagai peristiwa politik.
Dengan pemahamannya tentang kerusuhan Mei, Ruminah menolak kalau korban yang tewas dalam kerusuhan Mei dibandingkan dengan perempuan Tionghoa korban perkosaan. Ia tidak mau membandingkan penderitaan. Ia juga memahami penderitaan keluarga korban pemerkosaan dan penyerangan seksual yang tidak berani bersuara sampai sekarang.
Namun, perjalanan mencari keadilan dan menegakkan kebenaran adalah perjalanan sangat panjang dan terjal. “Sepertinya tidak ada perubahan. Saya sering lelah,” ujarnya, seraya memaparkan upayanya supaya tidak kehabisan energi.
Apalagi, banyak keluarga korban sudah jarang berkumpul karena disibukkan oleh upaya menyiasati hidup yang kian sulit. “Cari kerja susah. Banyak orang susah makan. Saya juga semakin sering waswas dan cepat bingung kalau anak saya terlambat pulang,” sambungnya.
Namun, Ruminah tidak berhenti. Ketika dihubungi Kamis (11/5) malam, ia masih berada di Kantor Kontras (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), organisasi nonpemerintah tempat ia ikut melakukan aktivismenya.
Di situ ia bertemu teman-temannya dan para aktivis. Di situ, nyala harapannya dijaga. Di situ pula ia menguatkan keyakinannya akan apa yang dikatakan penyair Chile, Pablo Neruda, “Action is The Mother of Hope.”
Sunday, May 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment