Thursday, March 13, 2003

Oleh-oleh Dari Peringatan 50 Tahun Hubungan RI-Kanada (2 of 5)


Kamis, 13 Maret 2003 berlangsunglah acara simposium yang membahas empat topik diskusi yaitu: Indonesia—Current Trends and Challenges, Economic Reform in Indonesia, Development and Social Issues, The Future of Indonesia—Canada Relations.

Datang agak pagi hari ini dengan harapan dapat melakukan ‘networking’, syukur kalau ada teman-teman NGO yang saya kenal. Akhirnya saya ‘tertambat’ pada dialog dengan Dubes Thailand untuk Kanada. Setelah bertukar courtesy, saya lalu memuji negaranya yang telah sanggup keluar dari krismon (krismon adalah singkatan untuk krisis moneter) yang lalu, dan saya teruskan bahwa Indonesia harus belajar banyak pada Thailand terutama untuk sektor pertanian dan perkebunan. Dia agak tidak setuju ketika saya mengatakan bahwa Indonesia harus belajar dari pengalaman Thailand. *smile*

Kurang lebih begini katanya: sebagai bangsa dan negara, Indonesia harus tahu kekuatan dan kekurangannya sendiri dulu sebelum dapat menentukan arah perkembangan bangsa dan negaranya. Thailand punya seorang raja yang walaupun tidak memainkan peranan dalam pemerintahan, tapi memainkan peran penting di hati rakyatnya. Thailand dengan mayoritas penduduknya yang beragama Budha tentu lain dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Thailand juga punya penduduk yang beragama Islam, tapi dengan karakteristik yang berbeda dengan yang ada di Indonesia. Kebanyakan rakyat Thailand bukan orang yang dapat diperintah untuk mengerjakan sesuatu, tetapi rakyat yang punya ‘sense of belonging and ownership’ dalam melakukan sesuatu. Akibatnya, proyek-proyek pertanian dan perkebunan lokal biasanya punya tingkat partisipasi yang sangat tinggi dari rakyat setempat. Thailand sudah tahu hal ini jauh-jauh hari karena itulah sektor pertanian dan perkebunan digenjot habis-habisan. Produk pertanian dan perkebunannya mulai dari beras, santan dalam kaleng atau santan bubuk, buah dalam kaleng, bumbu-bumbu masak, bahkan durian-nyapun sampai ke belahan dunia di luar Asia.

Jika dulu proporsi ekspor terbesarnya adalah Amerika Serikat, diikuti oleh Eropa dan negara-negara ASEAN, maka kini tujuan pemasarannya berkembang ke Cina disamping tiga tujuan ekspor tadi. Rencananya beberapa tahun mendatang akan ditembusnya pasar Amerika Selatan, sementara proporsi ke Amerika Serikat dan Eropa mungkin akan dikurangi. Hal ini dilakukannya karena selain melihat peluang pasar lain yang berkembang juga untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat dan Eropa. Rencana 10 tahun mendatangnya terutama di bidang IT dan Healtcare, mencoba menjadi kompetitor Malaysia dan Singapura. Ya, kemungkinan besar orang-orang sakit yang punya uang tidak lagi ‘harus’ berobat ke Singapura tapi juga ke Malaysia dan Thailand.

Berkali-kali dia mengatakan bahwa Indonesia harus mengetahui, menyadari, mengakui, dan belajar dari kekurangan dan kelebihannya sendiri. Terutama berani mengakui kekurangannya hingga dapat melakukan langkah-langkah tepat untuk maju sebagai bangsa. Ada beberapa isu sosial-budaya yang cukup sensitif juga disinggungnya…. It’s amazing that he wanted to talk to me candidly whereas in fact he didn’t know anything about me.

Ali Alatas masih merupakan seorang diplomat yang punya karisma, terbukti banyak kepala berpaling ketika dia masuk ruangan, dan banyak yang menunggu untuk berjabat tangan dan berbicara dengannya. Tak terkecuali Dubes Thailand yang sedang berbicara dengan saya. Kali ini Pak Alatas datang dengan kapasitasnya sebagai penasihat dan utusan khusus Presiden RI. Dari David Kilgour saya dengar kalau saja tragedi bom Bali tidak ada sudah pasti dia akan menjadi salah seorang kandidat untuk menduduki jabatan Sekjen PBB.

Ali Alatas yang menjadi keynote speaker dalam simposium ini menyinggung ada tiga hal yang menjadi tantangan Indonesia sekarang dalam era post-Cold War:

  1. Tantangan Globalisasi dengan semua implikasi positif dan negatifnya. Di satu pihak, kemajuan iptek dan globalisasi serta liberalisasi membuka banyak pasar, meningkatkan produktivitas, percepatan perkembangan ekonomi dan membuka kesempatan investasi dan perdagangan baru. Tapi di lain pihak, globalisasi juga akan membuat disparitas negara maju dan sedang berkembang menjadi makin besar… yang terkadang dapat menciptakan pergolakan ekonomi bahkan politik. Oleh sebab itu dibutuhkan jalan untuk mengurangi efek-efek negatif globalisasi ini terutama pada negara sedang berkembang agar keuntungannya dapat dinikmati semua orang.


  2. Tantangan Human Security. Tidak seperti konsep state security, human security menempatkan kepentingan keamanan negara beserta manusia yang hidup di dalamnya. Contohnya adalah: interstate wars atau konflik/kekacauan dalam negara hingga bentuk baru organisasi kejahatan transnasional dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Apa yang dapat dilakukan jika suatu negara melakukan kejahatan pada rakyatnya sendiri atau jika sebuah negara mengancam kestabilan regional? Dapatkah dilakukan intervensi kemanusiaan? PBB sudah lama menghadapi dilema ini: usaha untuk mengakhiri penderitaan manusia vs. legitimasi intervensi. Isu ini cukup sensitif karena dapat berkembang menjadi pertikaian Utara-Selatan dimana Utara adalah negara-negara maju yang umumnya melakukan atau memimpin intervensi kemanusiaan, dan Selatan adalah negara-negara sedang berkembang yang harus tunduk pada intervensi kemanusiaan tadi.


  3. Tantangan Terorisme Internasional. Ini tentunya bukan fenomena baru. Sudah dari jaman dahulu kala kita melihat bahwa kejahatan atau ancaman kejahatan sering dipergunakan untuk menekan pemerintahan atau masyarakat untuk menerima perubahan politik dan sosial yang radikal. Globalisasi juga membawa dan membuka pintu bagi berkembangnya kejahatan transnasional, yang dalam dimensinya mungkin dapat melampaui kegiatan ekonomi transnasional. Contohnya: tragedi 9/11, tragedi Bom Bali, perdagangan narkotika dan obat terlarang, prostitusi, dll.

Ketiga tantangan di atas bagi beberapa negara di Asia Tenggara terutama Indonesia berakar pada kemiskinan. Kemiskinan membuat perasaan ketidak-adilan dan keterasingan berkembang menjadi kemarahan dan kebencian tak masuk akal yang mengikis sikap menghargai akan milik, kehormatan dan nyawa orang lain. Apa yang harus dilakukan? Jawabannya adalah: keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Ini adalah salah satu sila dalam Pancasila dan dihafal sejak SD. Mudah dikatakan memang... buktinya sering terdengar dari mulut para aktor dan selebriti sosial, politik, ekonomi, budaya di Indonesia. Tapi kenyataannya? Setelah 58 tahun merdeka, seberapa besar janji itu sudah kita penuhi?

No comments: