Thursday, March 03, 2005

The Cycle of Corruption

If you've read my blog lately, you probably wonder why I've written so many postings about bad and evil things in Indonesia. Some of you wrote me, "Why didn't you write something good about Indonesia? So people know how beautiful it is, so people want to come and do business investment in the country."

Well, my friends, I write what I want, what my heart and mind telling me. Nobody dictates me on what I should or should not write. At least I've never written something that has no truth, or just rumours. I've never written something to ridicule people when it's not true and they're in no position to answer my points. Those are my rules.

I agree with you that Indonesia is a beautiful country ~ I have yet find the time to explore it. However, let's not just put our blind faith in its beauty alone when there are so many things spoil the structure and our day-to-day life there. Should we keep staying in the state of denial, telling ourselves it's the way it is and might as well continue doing it? Open your eyes, look around... Can you turn your deaf ears and blind eyes to the reality on the streets? Don't you know that we're racing with time and we owe our future generation their lives?

Well, I have four articles here (all in Indonesian) that express how frustrated life can be within the cycle of corruption in Indonesia, by prominent writer and thinker, Taufiq Ismail, Mohammad Sobary, and A. Umar Said. Then, tell me whether they too should stop writing bad and evil things about Indonesia, writing and talking about the truth. I will keep on posting about bad and evil things in Indonesia... Maybe when we're all really sick and tired of these things we'll do something revolutionary with reformed attitudes, not just talk and complain how hard and impossible they are. Until then... you'll always read these repulsive things (that you don't like).

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Catatan A. Umar Said: Aku Punya Papa yang Tidak Pernah Korupsi
by A. Umar Said (Paris, musim dingin, 12 Januari 2003)

Judul tulisan ini diambil dari kalimat penutup suatu tulisan yang amat menarik, menyegarkan fikiran, dan mengandung pesan moral yang besar artinya bagi kita semua. Tulisan ini dibuat oleh Ferona Yulia yang disiarkan lewat mailing list wanita-muslimah@yahoogroups.com, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tulisan « Korupsi adalah masalah besar bangsa kita ».

Mengingat isinya yang penting untuk dicermati oleh kalangan yang lebih luas lagi, maka berikut di bawah ini disajikan kembali tulisan itu selengkapnya. Dengan membaca tulisan yang singkat itu, kita semua dapat mengetahui bahwa ketika negeri kita sedang dilanda oleh bencana penyakit kangker ganas yang bernama « korupsi », maka masih ada jugalah kiranya bagian-bagian tubuh bangsa kita yang tetap kuat bertahan melawan penyakit yang telah merusak akhlak dan iman banyak orang ini.

Tulisan dalam wanita-muslimah@yahoogroups.com yang memancarkan kesegaran dan kesehatan jiwa ini adalah sebagai berikut:

« Puluhan tahun bekerja di Pertamina dengan jabatan yang sangat "basah" sebenarnya membuka peluang yang sangat besar bagi ayah saya untuk lebih mensejahterakan anak istrinya dengan uang korupsi. Saya pikir-pikir, kalau ayah saya mau korupsi, paling tidak bisa mengirim saya dan adik saya sekolah ke luar negeri, bisa beli rumah yang lebih megah di kawasan yang lebih elit, bisa membelikan kami anak-anaknya masing-masing sebuah mobil keluaran terbaru, bisa mengajak kami sekeluarga berlibur keliling dunia, bisa membelikan ibu saya perhiasan berlian dan baju-baju yang mahal seperti yang dilakukan oleh teman2nya yang lain.

Tapi ayah saya memilih untuk hanya memberikan uang gajinya berikut bonus-bonus perusahaan untuk kehidupan keluarganya. Ayah saya memilih untuk hidup jujur dan menghindari korupsi. Kalau saya tanya, "Kenapa sih Papa gak mau korupsi? Kalau Papa korupsi tentunya aku bisa punya mobil sendiri seperti Jeanne temanku itu…" Ayah saya cuma berujar pendek, "Buat apa kaya tapi tiap malam tidur tidak bisa nyenyak…"

Ibu saya pun Alhamdulillah tidak pernah merongrong suaminya untuk memberikan lebih dari apa yang sudah menjadi hak suaminya. Ibu saya mengajarkan kepada kami semua bahwa sudah seharusnya kami semua bangga punya Papa yang tetap jujur dan memiliki integritas yang tinggi, tidak goyah dengan iming-iming materi untuk meloloskan satu-dua proyek yang nilainya jutaan dollar. Dan sudah sewajarnya keluarganya mendukung untuk tidak "memaksa" Papa mencari kelebihan materi melalui usaha-usaha yang merugikan orang lain.

Ayah saya yang sudah lebih 35 tahun bekerja di Pertamina, di hari tuanya ini hanya memiliki sebuah rumah yang sudah bocor di sana-sini menanti bertahun-tahun untuk diperbaiki, sebuah mobil bekas yang dirawat Papa dengan penuh hati-hati sebab katanya Papa tidak punya uang lebih kalau harus mengganti mobil yang lebih baru dan seorang istri yang tak pernah iri bila dalam arisan teman-temannya memamerkan berlian semilyar rupiah atau tas kulit merek terkenal berharga jutaan rupiah sementara dirinya cuma pakai tas beli di Mangga Dua dan perhiasan emas yang dibelinya di toko emas di pasar dekat rumah.

Tapi saya tahu ayah saya selalu menatap rekan kerjanya dengan kepala tegak, bicara dengan team Pemeriksa Keuangan dengan suara mantap, menyergah atasannya dengan tegas, karena memang ia tak pernah sepeser pun "mencuri" uang rakyat dengan praktek korupsi.

Saya sangat bangga dengan ayah saya yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun dengan nama bersih tanpa cela, disegani dan dihargai oleh semua rekan kerjanya karena tidak pernah sekalipun terlibat korupsi.

Dulu, sewaktu kecil setiap teman-teman saya memamerkan pakaian mahal terbaru, mainan mahal terbaru atau perhiasan mahal terbaru dan setengah mengejek berkata, "Kamu punya apa, Fer?" »

Saya bisa menjawab pasti, "Aku punya Papa yang tak pernah korupsi." (Tulisan yang ditandatangani FY itu habis di sini).


Pesan Moral Yang Kuat
Para pembaca yang budiman. Mohon sama-sama kita baca kembali (kalau perlu berulang-ulang), tulisan bagus yang mengandung pesan moral yang amat besar dan kuat ini. Cukup banyak bagian-bagian tulisan singkat itu, yang betul-betul bisa menggugah hati nurani banyak orang, dan menjadi bahan renungan kita bersama. Apalagi, kalau kita hubungkan dengan situasi di negeri kita dewasa ini. Karena buruknya mental atau rusaknya akhlak kebanyakan orang (terutama di kalangan elit) maka terasalah bahwa cerita tentang ayah Ferona yang menduduki jabatan yang « basah » di Pertamina - selama puluhan tahun - dan yang rumahnya bocor itu menjadi sesuatu yang menjadi sangat menonjol dan menyentuh hati.

Dari cerita ini tergambar bagaimana sebagai seorang pejabat yang mempunyai banyak peluang untuk melakukan kecurangan (korupsi) namun tidak mau melakukannya, seperti yang dilakukan oleh banyak orang lainnya. Alangkah besar bedanya dengan apa yang sering kita dengar selama ini, bahwa banyak di antara pejabat penting (di pemerintahan atau di kalangan swasta) yang selalu berusaha mencari segala macam peluang untuk melakukan korupsi.

Juga, bagaimana ia sebagai seorang kepala keluarga, ia mendidik seluruh keluarganya untuk menempuh jalan kejujuran, dari pada hidup dalam kemewahan tetapi dengan cara-cara yang hina. Cerita tentang ibu rumahtangga yang juga tidak mau merongrong atau mendorong-dorong suami untuk mencuri, dan tidak tergiur oleh segala contoh-contoh buruk yang dipertontonklan oleh kebanyakan istri orang-orang terkemuka lainnya yang suka memamerkan berlian dan tas kulit yang mahal dalam arisan-arisan, adalah suatu cerita yang indah dan mengandung pesan moral yang amat kuat.


Ungkapan Yang Mengandung Pesan Moral
Sikap ayahnya yang demikian itulah yang menimbulkan kebanggaan dan respek Ferona kepadanya. Kebanggaannya ini patut sekali – dan penting sekali - ia nyatakan kepada siapa saja, termasuk dalam tulisan pendeknya itu. « Ibu saya mengajarkan kepada kami semua bahwa sudah seharusnya kami semua bangga punya Papa yang tetap jujur dan memiliki integritas yang tinggi, tidak goyah dengan iming-iming materi untuk meloloskan satu-dua proyek yang nilainya jutaan dollar. Dan sudah sewajarnya keluarganya mendukung untuk tidak "memaksa" Papa mencari kelebihan materi melalui usaha-usaha yang merugikan orang lain. », tulisnya. Sungguh, suatu ungkapan, yang juga bisa - dan patut sekali - menjadi kebangaan kita semua.

Yang lebih terasa lagi sebagai kebanggaan adalah bagian penutup tulisannya, yang berbunyi: Dulu, sewaktu kecil setiap teman-teman saya memamerkan pakaian mahal terbaru, mainan mahal terbaru atau perhiasan mahal terbaru dan setengah mengejek berkata, "Kamu punya apa, Fer?"

Saya bisa menjawab pasti, "Aku punya Papa yang tak pernah korupsi."

Sungguh, semangat atau jiwa yang terkandung dalam tulisan ini mempunyai pesan moral yang besar sekali kepada bangsa kita sebagai keseluruhan! Pesan moral yang datang dari keluarga seorang pejabat Pertamina ini perlu sekali disebarluaskan, dikembangkan dalam berbagai cara dan bentuk, sehingga bisa menjadi gerakan moral yang besar.

Bahwa tulisan itu disiarkan oleh milis wanita-muslimah@yahoogroups.com juga mempunyai arti penting yang tersendiri. Sebab, kalau pesan moral untuk melawan penyakit ganas korupsi ini sudah makin meluas di kalangan keluarga Islam, maka akan merupakan kekuatan yang amat ampuh, dalam perjuangan bangsa untuk membrantas maksiat yang sudah merusak akhlak banyak orang ini (untuk sekadar informasi tambahan, semboyan milis wanita-muslimah adalah : membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat).


Peran Islam Dalam Melawan Korupsi
Seperti yang bisa sama-sama kita amati, korupsi adalah kejahatan yang juga terjadi di banyak negeri di dunia ini, dan dilakukan oleh berbagai orang yang menganut berbagai faham politik, ajaran agama atau keyakinan. Korupsi juga terjadi di RRT, di Korea, di Jepang, Thailand, Filipina, Amerika Serikat, Amerika Latin, Australia, Eropa, Afrika dll. Namun, kita juga tahu bahwa korupsi di Indonesia adalah termasuk yang paling parah di Asia. Artinya, Indonesia adalah negara yang paling korup di Asia. Inilah suatu soal yang perlu jadi keprihatinan kita bersama. Ini juga merupakan tantangan bagi bangsa kita.

Karena, Indonesia merupakan negeri yang penduduknya yang beragama Islam adalah yang paling besar di dunia. Dengan adanya kenyataan bahwa korupsi sudah merajalela secara parah sekali selama puluhan tahun, dan kebanyakan juga dilakukan oleh orang-orang (terutama di kalangan elite atau kalangan tokoh-tokoh) yang menyatakan diri sebagai pemeluk Islam, maka adalah penting bagi masyarakat Islam untuk merenungkan masalah ini secara serius.

Apa yang ditulis oleh Ferona Yulia adalah satu contoh penting ke arah berkembangnya partisipasi aktif masyarakat Islam dalam gerakan moral untuk membrantas korupsi. Semakin banyak tulisan-tulisan, ceramah, diskusi, dialog - atau kegiatan-kegiatan dalam bentuk lainnya - yang bisa dilakukan oleh masyarakat, akan merupakan sumbangan besar terhadap gerakan pembrantasan korupsi ini. Gerakan moral ini bisa diperluas dan diperkuat lewat siaran-siaran dalam bentuk pamflet atau bulletin, atau tulisan-tulisan lewat Internet, atau berbagai kegiatan lewat pesantren, madrasah, mesjid-mesjid dan lain-lain sarana.

Perjuangan melawan korupsi adalah merupakan satu perjuangan yang amat penting, amat urgen, dan amat mulia. Ini merupakan amal yang kongkrit pula dalam mentrapkan ajaran agama dalam melawan maksiat atau kebathilan, yang sudah secara jelas-jelas telah merugikan kepentingan sebagian terbesar rakyat kita, yang terdiri dari ummat Islam juga. Korupsi telah merusak akhlak banyak orang yang menyatakan diri sebagai pemeluk agama Islam. Bahkan, ada orang-orang, yang justru menggunakan agama untuk melakukan korupsi, atau beraneka-ragam kecurangan lainnya. Korupsi adalah dosa, adalah kejahatan, yang dilarang oleh ajaran agama yang manapun juga. Korupsi yang dilakukan atas nama agama, dengan dalih agama, adalah puncak dari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang mengaku beragama.

Kegagalan dalam pembrantasan korupsi di Indonesia akan merupakan bukti kongkrit tentang kebangkrutan pendidikan akhlak. Sedangkan, akhlak adalah salah satu di antara kunci-kunci terpenting bagi keberhasilan pembrantasan korupsi. Korupsi tidak akan bisa dibrantas, kalau akhlak tidak bisa diperbaiki. Akhlak di kalangan pelakunya dan akhlak di kalangan yang harus memberantasnya. Dalam pembangunan akhlak, peran ajaran agama adalah penting. Kalau ajaran atau pendidikan agama terarah secara baik, maka bisa diharapkan bahwa akhlak orang juga akan bisa menjadi baik. Dari sudut inilah kelihatan masih lemahnya peran Majlis Ulama Indonesia serta organisasi-organisasi Islam lainnya dalam menjadikan agama sebagai salah satu jalan untuk memerangi maksiat atau kejahatan besar ini.

Mengingat parahnya kerusakan di bidang mental dan besarnya kerugian di bidang material yang disebabkan oleh korupsi, maka sudah sepantasnyalah kalau kalangan Islam di Indonesia menjadikan masalah memerangi korupsi sebagai bagian yang utama dari kegiatannya.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Catatan A. Umar Said: Pembusukan Moral di Kalangan Elite Kita Amat Parah
by A. Umar Said (Paris, 19 Juni 2003)

Sebagai seorang yang sudah tinggal di Paris selama 29 tahun ( sejak 1974), penulis merasa muak dan sekaligus naik darah membaca cerita tentang tingkah laku delegasi MPR yang baru-baru ini berkunjung ke Paris. Menurut berita itu, delegasi itu sebelum ke Paris sudah berkunjung ke London, Roma dan Madrid, dan kemudian menuju negeri Belanda. Secara resminya, kunjungan itu dilakukan dalam rangka « studi banding ».

Kunjungan delegasi MPR ke Paris ini, seperti yang dipaparkan Bisnis Indonesia tanggal 17 Juni 2003 patut dijadikan masalah besar oleh berbagai kalangan. Sebab, banyak aspek dari kunjungan ini yang menimbulkan citra yang amat buruk tentang negara dan pemerintah Republik Indonesia, tentang integritas moral dan politik kalangan elite bangsa kita. Pembusukan moral yang terjadi selama rezim militer Orde Baru rupanya masih berlangsung terus sampai sekarang, terutama di kalangan “atas”.

Negara kita sedang menghadapi kesulitan ekonomi yang besar, hutang luarnegeri kita masih bertumpuk-tumpuk (di atas 100 milyar US$), pengangguran mencapai sekitar 40 juta orang. Angka kemiskinan mencapai 35 juta orang, dan dari 35 juta jiwa 22 juta berada di pedesaan. Data pada 2001 mengungkapkan 55% dari penduduk miskin di Indonesia adalah petani (Sinar
Harapan 17/5/2003).

Ketika negara dan bangsa kita sedang menghadapi kesulitan-kesulitan yang begitu besar itu kita membaca bahwa delegasi MPR yang berkunjung di Paris menginap di Hotel Crillon yang tarifnya satu kamar antara Rp Rp 6,5 juta sampai Rp18,5 juta per malam. Rombongan itu terdiri dari 21 orang. Bukan itu saja! Ada pula kisah tentang pemakaian mobil limousin super-mewah, yang membikin banyak orang Perancis ternganga-nganga keheranan. Kita tidak tahu apa sajakah yang sudah di”studi-bandingkan” selama tiga hari di Paris, dan berapa pula pengeluaran untuk foya-foya ini. Juga tidak ada informasi tentang “studi banding” yang dilakukan oleh rombongan tersebut di London, Roma, Madrid dan negeri Belanda.

Untuk jelasnya, berikut di bawah ini disajikan kembali berita yang ditulis oleh wartawan Bisnis Indonesia Rofikoh Rokhim, yang bertugas di Paris:

Anggota MPR berlimusin-ria di Champs Elysee
"Gilingan abis," ungkap Amy, pemuda berperawakan gemuk berumur 30-an tahun ketika melihat serombongan warga Indonesia keluar masuk Hotel Crillon yang terletak pas di jantung kota Paris, di pertemuan jalan protokol Avenue Champs Elysee, Rivoli dan Place de la Concorde, Jumat malam lalu. "Itu hotel kan untuk menginap tamu negara Prancis. Mahal sekali lho... Siapa orang Indonesia yang nginap di situ. Nggak ada kata krisis ekonomi nih," timpal Valerie, 25, warga Prancis yang sering berkunjung ke Indonesia untuk kegiatan kemanusiaan di Kalimantan, Maluku dan Papua.

"Jangan berprasangka dulu, mungkin mereka pejabat dari Filipina, Thailand, Kamboja, Malaysia atau Laos," sambung Rudi, 45, pekerja gelap asal Jawa Tengah yang berprofesi sebagai petugas pembersih rumah dan restoran yang tinggal di Paris lima tahun terakhir. Usut punya usut, ternyata rombongan yang terdiri dari 21 orang itu adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama istri, anak dan para staf.

Di hotel supermewah itu mereka menyewa beberapa jenis kamar, mulai dari yang standar hingga suite room. Berapa tarif hotel itu per malam? Antara 655 euro hingga 1850 euro atau Rp6,5 juta-Rp18,5 juta per malam. Bagi orang Prancis, tarif kamar setinggi itu dianggap wajar karena memang hotel itu lebih untuk tamu negara setingkat presiden atau perdana menteri. Tercatat pejabat Indonesia yang pernah menginap di situ adalah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto saat menjadi tamu negara pemerintah Prancis.

Presiden Abdurrahman Wahid, ketika menjadi tamu Presiden Jacques Chirac tiga tahun lalu, tidak menginap di situ, tetapi di Hotel Intercontinental. Dan ketika menerima penghargaan doctor honoris causa dari Universite Paris I Pantheon Sorbonne, dia menginap di Hotel Nikko.

Selidik punya selidik lagi, ternyata menurut rencana para anggota MPR itu berada di Paris selama tiga hari untuk urusan dinas, alias bertemu anggota parlemen Prancis. Tapi apa lacur? Salah jadwal! Tidak satu pun anggota parlemen yang dapat menemui rombongan MPR itu karena mereka berkunjung saat weekend. Rupanya rombongan MPR itu sebelumnya telah berkunjung ke London, Roma dan Madrid dan setelah Prancis, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Belanda.

"Ini road show yang memakan waktu, tenaga, pikiran dan dana yang tidak sedikit karena bertujuan melakukan studi banding. Tapi mana ada pejabat Prancis yang mau berdinas pada hari libur. Juarang buanget. Kalau niat ya... hari kerja dong," komentar Valerie yang fasih berbahasa Indonesia itu. Alhasil dikabarkan rombongan itu pun lebih memanfaatkan waktu untuk leisure-misalnya nonton kabaret di Lido pada kelas VIP seharga 160 euro, makan di restoran mahal kelas Fuquet dan belanja di toko bebas pajak Paris Look. Tidak ketinggalan berfoto ria di Menara Eiffel dan Arc de Triomph.

Kritikan pedas dari orang Prancis tidak hanya berhenti sampai di situ. Ketika Bisnis berada di Champs Elysee, jalan raya teramai dan terbesar di Paris, pada Minggu siang, perilaku anggota MPR itu bikin heboh turis maupun warga Prancis yang berdesakan di trotoar terbesar di dunia itu. Rupanya para wakil rakyat itu menyewa dua limusin berwarna putih. Limusin masih dianggap sebagai barang supermewah kendati di Prancis banyak orang kaya. Hanya selebritis dan pebisnis saja yang mampu menyewanya.

Alhasil banyak orang terhenyak dan pingin tahu orang top atau selebritis mana yang keluar dari restoran Cina itu. Tabrakan kecil dua mobil sempat terjadi di Avenue Champs Elysee gara-gara pengemudi meleng karena ingin melihat siapa yang akan keluar atau naik limusin putih itu. Siapa tahu Bruce Wills, Nicole Kidman atau Tom Cruise atau Bill Gates. Lumayan kan kalau bisa dapat tanda tangan atau potret bersama. Ternyata yang keluar adalah 16 orang anggota MPR Repulik Indonesia, yang langsung berebut naik limusin. Sisanya, para staf, naik mobil lainnya.

Menurut informasi, limusin tersebut disewa seharga 300 euro (Rp3 juta) hanya untuk berkendara selama 15 menit dari Champs Elysee ke Gare du Nord, stasiun kereta api yang menuju Belanda. Gile! Gill, 25, arsitek Prancis yang sering datang ke Indonesia untuk mencari kayu mahoni dan jati dan kebetulan sedang jalan dengan Bisnis pun takjub.

"C'est fou [Ini gila]. Katanya negara kamu sedang krisis dan minta keringanan utang kepada negara lain dan pemerintah kami. Tapi lihat saja pejabat kamu berlebihan di sini. Kami akan protes kalau negara kami memberi keringanan utang pada negara kamu. Hemat dulu dong kalau mau minta keringanan utang. Saya yakin mereka bukan tamu negara sebab pemerintah kami sangat sederhana kalau memberikan jamuan,'' paparnya emosi.

Siapa yang membiayai pengeluaran itu semua. Kantong sendiri? Kaya sekali para anggota majelis ini! Anggaran negara? Boros amat KBRI! Mana ada duit sebesar itu. Swasta? Siapa? Apa kepentingannya? Kabarnya, sebuah bank negara papan atas dan terbesar menyumbang pembiayaan itu- entah sebagai uang entertainment, atau terkait tujuan politis tertentu, ataukah dengan tekanan. Huwallahhuallambisawab!

Yang jelas, Ketua MPR Amien Rais, ketika berpidato di hadapan tukang becak di Makasssar pekan lalu, menyerukan agar dalam pemilu nanti jangan memilih partai yang anggotanya suka jalan-jalan ke luar negeri. Bahkan, Presiden Megawati juga berpesan agar kita semua hidup sederhana. Rakyat berharap kepergian para pejabat ke luar negeri untuk tujuan yang mulia, misalnya melakukan lobi guna memecahkan kesulitan negara. Yang terjadi kok malah
sebaliknya?” (kutipan selesai).


Kejahatan Moral Dan Pembusukan Hati Nurani
Setelah membaca berita di atas, bisa orang bertanya-tanya, umpamanya: Gejala apa ini semua? Mengapa bisa terjadi? Siapa yang harus bertanggungjawab? Apa praktek buruk ini bisa dibiarkan terus? Apa yang harus kita lakukan bersama menghadapi persoalan semacam ini?

Kasus rombongan MPR ke Paris (dan kota-kota besar Eropa lainnya) mencerminkan kemerosotan moral yang tidak kepalang tanggung di kalangan elite bangsa kita dewasa ini. Pembusukan hati-nurani ini sudah sedemikian parahnya sehingga mereka tidak segan-segan untuk berfoya-foya dengan serba mewah ketika bangsa kita di Sumatera, di Jawa, di Kalimantan, di Sulawesi, di Maluku, di Nusa Tenggara, di Papua sedang mengalami kesulitan untuk hidup sehari-hari.

Bagi para anggota MPR (atau DPR) menginap di Hotel Crillon di Paris yang tarifnya paling rendah adalah selalu di atas 600 euro (atau kurang lebih Rp 6 juta) per kamar dan per malam adalah perbuatan yang tidak menimbulkan rasa hormat. Sebaliknya, perbuatan ini mengundang cacian, umpatan, grundelan, gugatan dan kemarahan orang banyak. Gugatan atau kemarahan ini adalah berdasar dan adil. Sebab, mereka itu menamakan diri dan disebut-sebut sebagai wakil rakyat. Gaji dan pengeluaran untuk pekerjaan mereka ditanggung oleh nagara, artinya dari pajak yang dibayar – dalam berbagai bentuk – oleh rakyat.


Kegiatan Ekstra-Parlementer Perlu
Entah dengan cara apa, dan melalui jalur yang mana, dan dalam bentuk yang bagaimana, perlu sekali rasanya adanya tuntutan dari berbagai kalangan untuk diadakannya pengusutan atau pemeriksaan terhadap kasus rombongan “studi banding” MPR ke London, Roma, Madrid, Paris dan Holland ini. Perlu diselidiki apa betul mereka itu melakukan “studi banding” dan apa pula hasilnya? Apa mereka itu dimana-mana selalu menginap di hotel yang super-mewah seperti yang terjadi di Hotel Crillon Paris? Berapa pengeluaran perjalanan rombongan MPR ini ke bebagai tempat itu?

Ini semua perlu dilakukan untuk dihentikannya penghamburan uang negara (yang hakekatnya adalah uang rakyat) dengan perjalanan foya-foya di luarnegeri dengan dalih “studi banding”. Karena perbuatan sejenis ini justru banyak dilakukan oleh “wakil-wakil rakyat” (termasuk DPR dan DPRD) maka kontrol dari masyarakat ini bisa dilakukan oleh organisasi-organisasi non pemerintah (Ornop) atau LSM dan pers (termasuk lewat Internet). Ketika gejala pembusukan parah sudah juga menyerang badan-badan legislatif, maka peran kegiatan ekstra-parlementer adalah amat penting. Gerakan moral (dan gerakan politik) ekstra-parlementer bisa dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk.

Kesulitan-kesulitan besar yang dihadapi bangsa dewasa ini, adalah pada dasarnya bersumber pada kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan... moraL Pembusukan parah inilah yang sampai sekarang masih diteruskan oleh sebagian dari elite kita. Banyak sekali ahli-ahli dan orang-orang pintar yang bertitel sarjana (atau tidak) yang memegang kedudukan penting, tetapi moralnya bejat. Dari mereka-mereka ini tidak bisa diharapkan untuk bisa menanggulangi pengangguran yang 40 juta orang atau memberantas korupsi yang merajalela di mana-mana. Orang-orang yang berpandangan politik anti rakyat tidak mungkin melahirkan atau menyumbangkan gagasan-gagasan besar untuk kebangkitan bangsa dari keterpurukan dewasa ini.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling
Oleh Taufiq Ismail

Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20 juta keping, kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan di punggung kita dicap sablon besar-besar Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia. Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa. Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan banyak senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji, adalah industri korupsi.

Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.

Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.

Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bershaf-shaf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu'. Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu'nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan shaf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.

Bagaimana ini?

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.

Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji.

Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.

Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti dinding keraton, tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pistol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum? Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan? Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman? Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan? Percuma Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan tak akan terselesaikan.

Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan Allah membuka hati mereka, terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga. Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya.

Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.

Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap. Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai. Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap. Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.

Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya. Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar. "Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!" teriak mereka. "Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!" bantahku.

Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam. Aku melarikan diri kencang-kencang. Mereka mengejar lebih kencang lagi. Mereka menangkapku. "Ambil bensin!" teriak seseorang. "Bakar Rayap," teriak mereka bersama. Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku. Seseorang memantik korek api. Aku dibakar. Bau kawanan rayap hangus. Membubung ke udara.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

The Jakarta Post
Friday, February 25, 2005

Governance reform key to fighting corruption: ADB
By Endy M. Bayuni, Jakarta

Amid growing public discontent over the lack of progress in punishing those involved in corruption, a new study says that because corruption is largely systemic, or institutionalized, the key to solving the problem is to reform the system and improve governance.

While the report by the Manila-based Asian Development Bank (ADB) does not discuss the effectiveness of law enforcement as the weapon of choice by successive governments since 1998 in fighting corruption, it says law enforcement agencies and the judiciary are among the state institutions most prone to corruption, and thus must be the first to be reformed.

Indonesia, according to the Country Governance Assessment Report due to be released on Friday, has an unfinished and somewhat daunting reform agenda.

The report underlines the need to reform the regulatory system, the management of public finances, the civil service, the police, the Attorney General's Office and the judiciary.

"The widespread perception of systemic corruption afflicting public services is another reason for continuing and accelerating reforms," it says.

The grim implication of the report, while not stated, is clear: no amount of law enforcement will be sufficient to stop corruption as long as the system itself allows or even encourages corruption in the various state institutions.

The report's conclusion is also clear: completely overhaul the civil service and reform the police, the Attorney General's Office and the judiciary.


Almost seven years since the downfall of the corrupt Soeharto regime, Indonesia seems nowhere near to eradicating corruption. There is even the growing feeling that corruption has become even more widespread than before, in spite of announced wars against corruption by four successive presidents since 1998.

This feeling is dangerous because it could lead to public apathy toward the next official declaration of yet another war on corruption. While many people have been investigated and tried in court for corruption, convictions have been few and far between. Impunity remains the rule rather than the exception.

HS Dillon, executive director of Partnership Governance Reform in Indonesia, gave his personal endorsement of the ADB report, which he described as being "close to our heart".

"It is in line with our motto of 'pressure from without, capacity from within,'" he said during a discussion at Kompas daily newspaper earlier this week.

The ADB report says Indonesia "is still far from having a fully developed democracy with an administration and judiciary ruled by law, and with a market economy based on open and fair competition".

"Indonesia's governance system previously operated under a regime in which state institutions neglected good governance and the rule of law, where the state managed essential parts of the corporate sector and where corruption was allowed to rule over common interests."

The 125-page report looks at specific governance sectors where reform is mandated, including legislation, the regulatory framework and policy making process, the management of state finances, the civil service and the implications of decentralization, law enforcement agencies, the judiciary and the courts.

The report reserves its harshest words for the civil service, the National Police and the judiciary for their systemic corruption. It says that civil service management practices "nurture and multiply corruption", that corruption is "widespread and institutionalized" in the police force, and that there is "institutionalized and widespread corruption in the judiciary".

If reforming these institution seems like a gigantic task, at least Indonesia is heading in the right direction, Staffan Synnerstrom of the ADB and one of the authors of the study said during the discussion at Kompas.

Synnerstrom, who helped in governance reforms for Eastern European countries in the 1990s, said it took 15 years for Poland and many other countries in the region to reform their civil service and their public finance management.

"It is a long process," he said.

The ADB report, alluding to the experiences of other countries in transition, says that such "transformation needs time, strong commitment, persistent efforts and determined leadership."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

The Jakarta Post
Saturday, February 26, 2005

Past Graft Cases Not Priority: SBY
By Muninggar Sri Saraswati, Jakarta

President Susilo Bambang Yudhoyono said on Friday that the government was focusing its antigraft efforts on the prevention of corruption in the future rather than pursuing graft cases that took place in the past.

"I am concentrating more on preventative measures for the future. If we only look to the past, it means delving into things that are far from certain. We would be better off preventing mega corruption cases from recurring in the future," he told governors at a meeting of the Indonesian Provincial Administrations Association (APPSI) in Jakarta.

Susilo asked the governors to support his soon-to-be-issued national action plan to combat corruption, as well as a recently issued presidential instruction designed to accelerate the antigraft effort.

Citing his recent meeting with Turkish Prime Minister Recep Tayyip Erdogan and parliamentarians, Susilo said they had stressed the need not to focus on the past as to do so would prove to be extremely complex.

"But Turkey is successful, and is firm against corruption," he added.

The President also said that the antigraft movement should not become tainted with "political motives".

He said that differences in political thinking between the present government and past governments should not be used as an excuse to victimize past officeholders.

Asked to elaborate, presidential spokesman Andi Mallarengeng said the government was determined to prevent corruption in the future through the creation of a deterrent effect.

"The graft cases currently being handled by the authorities, such as those involving Nurdin Halid and Adrian Waworuntu, will proceed. But a case like that of Pak Harto will not be pursued as it has already been taken to court," he said.

Andi was referring to former president Soeharto, who briefly stood trial for graft in the South Jakarta District Court. The case came to an abrupt halt, however, after the court in a controversial ruling found Soeharto unfit to stand trial for health reasons.

Andi said the government would leave any decision whether or not to pursue a past corruption case up to the Attorney General's Office.

However, he said the government would not hesitate to prosecute serving government officials suspected of stealing state funds.

On Thursday, the President approved a request by prosecutors request to question Blitar, East Java, Regent Imam Muhadi as a suspect in a corruption case. He also gave the police the go-ahead to summon Temanggung, Central Java, Regent Totok Ary Prabowo as a witness in a similar case.

Since coming to power in October last year, the President has given his consent for the questioning of 37 state officeholders and legislators on suspicions of graft.

Susilo said that a number of governors had asked him not to readily issue permits for the police and prosecutors to question local administration chief executives as they feared this would irreparably tarnish their images, even if the charges were eventually thrown out in court.

"I listen to their calls. But I will continue to give my written consent. I have explicitly told the police and prosecutors that they must only question suspects if there are strong indications of corruption," he added.

The President urged law enforcers to seriously consider the consequences before laying graft charges.

"Should some apparent irregularities have occurred in the use of funds due to erroneous interpretations of policies or regulations, do not immediately conclude it is corruption without first conducting a thorough examination," Susilo said.

Note: Carmel Budiardjo from TAPOL wrote the following comment on the above coverage ~

Taking Suharto to court on corruption charges was a trivialisation of what the Indonesian dictator inflicted on the country for 33 years, which are nothing less than crimes against humanity.

It's about time that the government now in power came to its senses and began to consider indicting Suharto for the crimes he perpetrated while in power. Questions that need to be raised and answered are:

Who was it who decided without a shred of evidence that the events of 1 October 1965 (an action taken by members of the Indonesian army under LtCol Untung, a close associate of Suharto) was the work of the PKI, and branded it henceforth as the G30S/PKI. branding all members or alleged members and sympathisers of the PKI as having been 'directly or indirectly involved in the G30S/PKI'?

Who gave the order in October 1965 for the RPKAD to initiate killings against alleged members of the PKI which resulted in the massacre of up to one million people?

Who ordered Kopassus troops to mount a massive operation in West Papua, and later held a fraudulent Act of Free Choice which sealed West Papua's fate as part of Indonesia, resulting in the deaths of up to 100,000 people?

Who ordered troops to initiate military operations in Aceh with the aim of destroying the Free Aceh Movement from the late 1970s, then in 1989 declared Aceh to be a military operations zone, following which many thousands of Acehnese were killed?

Who gave the order for tens of thousands of untried political prisoners to be dumped in the inhospitable island of Buru in 1969 and held them there until the late 1970s, as a result of which many hundreds died of ill-treatment, starvation and disease?

Why is Suharto, who ruled over one of the worst massacres of the twentieth century, being allowed to live out the closing years of his life in tranquillity, surrounded by his children and family who amassed huge wealth under his protection and still enjoy a life of luxury?

As we approached the 40th anniversary of 1 October 1965, it is necessary to place these issues on Indonesia's political agenda and put the prime perpetrator of these crimes against humanity on trial.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kompas Online
Minggu, 27 Februari 2005

ASAL USUL

Doa dan Amal Nyata
Oleh: Mohamad Sobary

Di ruang tamu Kiai kita itu - sebuah kamar besar di tingkat dua yang di dalamnya dilengkapi kamar mandi, kamar tidur, bacaan, dan kamar kerja - saya duduk sebentar sesudah mandi dan berganti pakaian, sudah merasa lebih segar dan siap berdiskusi dengan Kiai yang sangat gemar minum kopi dan rokok keretek itu.

Kamar itu disediakan buat para sahabat, para penyair, tamu-tamu yang datang dari jauh hanya untuk melepas rindu, salaman, dan mengobrol. Sering pula wartawan datang untuk wawancara eksklusif.

"Sebentar ya," kata Kiai dan berlalu. Suara langkah kakinya terdengar "jluk, jluk, jluk…" di tangga yang terbuat dari kayu.

Shalat isya baru saja usai dan para santri masih melantunkan tembang-tembang kerohanian-puji-pujian penyubur iman - yang lembut, yang nadanya di telinga pendengar awam pun bisa merasuk di hati dan membuat saya merasa seolah doa-doa sesudah shalat tadi masih belum berakhir.

Sambil menunggu sang Kiai, seperti biasanya saya berzikir. Di ruang itu tiap saat saya merasakan suasana hening dan personal. Tuhan terasa begitu dekat di hati.

"Kita ini sering terlalu sibuk membuang waktu untuk hal-hal yang bahkan dengan kebutuhan kita sendiri pun tak ada hubungannya," kata Kiai setelah akhirnya siap menemui saya dan seorang teman dari Semarang.

Ucapan ini terkait dengan ajaran yang menggariskan bahwa manusia pada hakikatnya dalam keadaan merugi.

"Tiap saat kita berdoa, tetapi tiap saat pula, mungkin tanpa kita sadari, kita menyakiti orang lain semata karena agamanya lain, aliran fikih dan tasawufnya lain, variasi doa dan tarawihnya lain," katanya lagi sambil menjatuhkan abu rokok di asbak. Beliau duduk bersila. Kaki kanannya menindih kaki kiri, ringkas, rapat tetapi lemas dan rileks, khas gaya duduk orang dunia pesantren.

"Kita sibuk menyenangkan Tuhan dengan doa-doa, tetapi kita hampir tak pernah berusaha sibuk menyenangkan umat-Nya. Dikiranya melayani Tuhan cukup dengan doa."

Saya pun mengangguk-angguk. Asap rokok Kiai terbang di depan hidung saya karena tiupan angin dari jendela dan lenyap entah ke mana. Betapa banyak hal sederhana dan mudah dalam agama yang tak kita hiraukan - seperti lenyapnya asap rokok Kiai tadi - padahal semua perkara itu begitu mendasar dan menentukan secara hitam putih benar salahnya amal saleh kita.

Malam itu saya mencatat perkara penting: Doa yang paling disukai Tuhan bukan bunyi kalimat yang fasih bahasa Arab-nya, tetapi tindakan nyata buat menyenangkan umat-Nya - menyayangi semut, belalang, katak, monyet, lintah, kura-kura, dan mungkin terutama meluhurkan manusia dengan ketulusan Matahari menghangatkan Bumi tanpa menuntut tambahan bahan bakar dari kita.

Tulus dalam ibadah menjadi kata kunci. Tanpa ketulusan, kita menipu orang lain, menipu Tuhan, dan menipu diri sendiri.

Catatan tambahan: Tuhan bersukacita mendengar kita berdoa, tetapi lebih bersukacita lagi melihat kita beramal nyata - pendeknya kita diminta melakukan apa yang disebut Marx praksis revolusioner - karena doa dan sekadar doa biasa tak bisa mengubah dunia.

Agak banyak alasan mengapa kita berhati-hati dalam berdoa meskipun jelas Tuhan tak merasa bising, tidak repot, tidak bingung, tidak kisruh, atau ruwet mendengar simpang siurnya doa umat di seluruh jagat raya. Tetapi, patut dicatat, doa kita mungkin berseberangan dengan doa orang lain dan seolah langsung di hadapan Tuhan sendiri kita saling berebut pengaruh, saling memprovokasi agar Dia memihak kita.

Di hadapan Tuhan pun, tanpa malu-malu, tanpa rikuh, para calon presiden dan para calon wakil presiden seolah berkampanye agar Tuhan memilihnya. Menyogok dengan uang jelas tak mungkin, tetapi "menyogok" dengan pengaruh kata-kata memelas, dan janji muluk, pasti dilakukan juga.

"Adakah Tuhan terpesona?"

"Mungkin tidak."

Seribu janji boleh menanti, siang-malam boleh saja kita berharap, tetapi tak malukah kita bila kita tahu kita tak pernah tulus? Mengapa kita sering begitu dungu dan mengira Tuhan bisa ditipu?

Di masjid, misalnya, kita tafakur dan tampak gigih berdoa, tetapi di saat yang sama ada saja yang diam-diam sibuk menyebar fitnah, menyimpan rencana mencelakai dan mempermalukan orang lain, atau menyebar kebohongan, seolah doa bisa digabung secara harmonis dengan semua keterkutukan itu.

"Tak tahukah kita bahwa Tuhan tak pernah tidur?"

"Tahu. Tetapi, jiwa kita yang gelap, tak melihat apa-apa."

Dari hari ke hari kita menjadi saksi hidup dan tak habis pikir melihat kesalehan dan kebejatan berdampingan secara damai. Dengan enak orang berdoa, tetapi sesudah itu membawa pulang barang inventaris kantor, dan me-mark-up belanja lembaga, seolah lembaga itu peninggalan nenek moyangnya.

Ada pula orang yang kelihatan saleh dan tekun mengurus rumah Tuhan, tetapi dengan nyaman pula mengantongi sebagian honor pengkhotbah. Sekarang, menyimpang dari kebenaran tak membuat bersangkutan malu dan tak pula merasa kredibilitas moralnya hancur. Di rumah Tuhan pun ada juga tikusnya.

Kita didera keserakahan? Atau gejolak ambisi tak terkendali untuk merebut jabatan dan menguasai materi sehingga kita memusuhi tiap orang yang tak sehaluan dengan kita? Kita salah memilih kelompok yang isinya orang-orang sakit, tetapi merasa diri mereka sehat dan menuduh pihak lain serba salah?

Di masyarakat kita - mungkin karena orang tak bahagia di masa kecil, merasa terbuang semasa sekolah, dan tak bahagia dalam keluarganya sesudah menikah dan beranak pinak - sekarang banyak kita temui orang-orang yang sakit.

Ada yang sakit orientasi nilainya, dan karena itu mereka hidup tanpa paduan superego. Ukuran baik-buruk, benar-salah, pantas-tercela, dan mulia-hina terpusat pada cara pandangnya sendiri.

Dasar hitungan hidup mereka ego dan ego. Maka, tak mengherankan bila orientasi sosial, politik, dan ekonomi mereka pun pada dasarnya sangat egoistis sifatnya. Juga cara pandang kebudayaan dan keagamaannya. Dikiranya agama hanya urusan melayani dan menyenangkan hati Tuhan.

Maka, sekali lagi, orang bisa tampak tiap saat sibuk berdoa sambil menyakiti sesama. Kita tertib berdoa, tetapi tak pernah tertib sosial, hukum, maupun politik. Mungkin karena dungu, kita memilih mengutamakan doa dan mengabaikan amal nyata.


Previous posting on mismanagment in Indonesia ~ Corruption: The Root of Evil in Indonesia.

No comments: