Wednesday, August 07, 2002

Mong-ngomong


Di Indonesia hari2 belakangan ini lagi musim mong-ngomong di Sidang Tahunan MPR. Lobby antar fraksi ya perlu mong-ngomong. Amandemen UUD ’45 juga perlu mong-ngomong. Tentu saja mong-ngomong-nya di tempat terhormat (mustinya)… yang jelas mong-ngomong begini ya ndak kelaperan habis pasti dapet makan dan uang saku. *senyum* Sementara pendemo juga minta mong-ngomong supaya yang katanya mewakili sekian ratus juta rakyat yang namanya masih Indonesia ini ya mong-ngomong yang bener biar ada eksyen-nya gitu.

Words, words, words! Mong-ngomong, mong-ngomong. Ndak lebih dari itu yang ada dimanapun di dunia saat ini, kalo disebutin, uh sama banyaknya seperti bintang di langit. Eh, mo ngutang atas nama rakyat perlu mong-ngomong juga lho, begitu juga kalo nggak mo bayar utang. Mo naek pangkat juga perlu mong-ngomong, apalagi kalo mo jadi presiden en menteri, lebih banyak lagi mong-ngomongnya. Sejak mulai krismon ampe sekarang banyak banget mong-ngomong, tapi significant progress nggak keliatan. Yang ngomong cape, yang kerja cape, yang nonton ya juga cape…

Akibatnya nih… banyak yg pesimis. Mong-ngomong emang masih dijalankan tapi makin banyak yang meragukan hasilnya. Ya ndak populer gitu. Tau pan istilah NATO, kagak ada eksyen bisanya ngomong doing. Udah ngomong panjang2 en sampe mulut berbusa eh nggak ada hasil nyata yang dikerjain. Jadi kenapa semua orang nggak disuruh tutup mulut aja? Wah, ya ini juga ndak boleh…. abis katanya lagi mong-ngomong itu penting lho supaya ada eksyen. Buktinya juga banyak lho, salah satunya: yg namanya Republik Indonesia pan juga hasil mong-ngomong panjang.

Iya bener, saya setuju banget kalo semua orang terus mong-ngomong, biar kagak jadi manusia2 bisu. Saya percaya kalo mong-ngomong itu mendahului eksyen. Nothing can change unless the world agrees, through talk, upon change.

Dan ini alasan saya kenapa kita tetap perlu mong-ngomong:


  1. Mong-ngomong itu meletakkan marker, meng-artikulasi-kan aspirasi, mengidentifikasi pendekatan2 umum, mengungkapkan perbedaan, tapi juga dapat menjembatani perbedaan tersebut. Tanpa mong-ngomong nggak bakal ada agreement, dan tanpa agreement nggak bakal ada eksyen.


  2. Bahkan ketika mong-ngomong nggak menghasilkan agreement, misalnya cuma jadi: hasil notulen dan penuh jargon, toh dia tetap punya arti untuk mengubah persepsi serta menciptakan awareness dan acceptability level baik bagi ide2 yg dikenal maupun ide2 yang tidak lazim atau norak.


  3. Udah gitu… kalo mong-ngomong diulangi terus2an hasilnya dapat mengubah nilai2 yg ada dalam pikiran para tukang mong-ngomong. Jadi, sembari berpikir sambil mong-ngomong kita telah membuka diri terhadap hal2 yg sebelumnya nggak pernah kita setujui --> proses reaksi kita terhadap hal2 tersebut dapat juga meletakkan asumsi2 kita pada tingkat pengertian yg baru.


  4. Kalaupun tidak dicapai ketiga point di atas, masih ada harapan… Paling nggak ajang mong-ngomong tersebut dapat jadi tempat untuk mempertemukan orang2 yang susah banget buat diajak bicara, untuk saling kenal. Suatu langkah awal yang positif.

Untuk temen2ku di dunia marketing research atau dunia profesi lainnya, ya jangan berhenti mong-ngomong, makin banyak ngomong makin bagus… biar jadi AT&T (Action and Talk in Tandem).

Dan moga2 milis ini nggak kena alergi mong-ngomong juga… biar nggak sepiiiiii sekahaleiiiiii. *senyum* Emang sih, mong-ngomong bisa juga membuat distorsi, berisi kebencian dan nggak konstruktif. Ya ndak apa2lah. Mong-ngomong sambil marah dan memaki juga sebenernya udah mewakili satu usaha untuk ber-KOMUNIKASI,… it is silence that isolates people. Without talk you are doomed to incomprehension and, worse to indifference. Remember, apathy is the real enemy. Silence is its accomplice. We can only know each other by talking to each other.

Jadi teruskanlah mong-ngomong, baik sama pacar, keluarga, anak, orang se-kampung, bahkan sama ‘wakil rakyat’. *senyum*

Note: Ada di milis Ex-ACNielsen.

No comments: