“Laskar Pelangi” is the title of the first out of four books by Andrea Hirata. It’s a best seller. I posted about Andrea on my blog: Andrea Hirata’s Pure Love. The other three are Sang Pemimpi, Edensor, and Maryamah Karpov. Some people say that Edensor is an anti-climax, Laskar Pelangi is the best of these foursome. I haven’t read the other three, so I can’t give any commentary yet.
“Laskar Pelangi” is a very simple, an unpretentious-honest-from-the-heart kind of book. I think it’s one of the best in the past ten years. I laughed and cried – wish there are more books like this from Indonesia’s writers. The book that started as Andrea’s token of appreciation to his teacher – Bus Mus – and nine of his friends when he studied in SD and SMP Muhammadiyah in Belitong has become a best seller book, a movie with Nidji sings the soundtrack of the movie… an inspiration to many people in Indonesia.
Laskar Pelangi was comprised of ten kids that grew up together and this is their stories. All of them are unique characters but my favorite is Lintang. Following are excerpts from the book that made me cry and made me feel so blessed… be grateful for what you have:
Bab 32: Agnostik (hlm. 467-472)
Bus reyot itu menurunkan aku di seberang jalan di depan rumah ibuku. Aku mendengar lagu Rayuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti warta berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan sunyi. Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dari sebuah mobil tronton kapasitas sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter satu meter.
Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir gelas ini. “Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek,” teriaknya.
Aku meletakkan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Iapun pergi meninggalkan debu.
Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa kemana, salah satu perbuatan kongkalikong yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.
Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat berdiang melawan dingin angin laut. Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya serba kumal dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan mi instan berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan lainnya.
Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.
Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lintang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.
Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini berdiri di atas tanah semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara… Bum…! Bum…! Bum…! Aku melihat ke luar jendela sebelah kananku. Sebuah tugboat (kapal tandu/kapal tunda) penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng. Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.
Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari tadi mengamatiku membaca pikiranku.
“Einstein’s simultaneous relativity…,” katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir. Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.
Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku alami. Dua orang melihat obyek yang sama dari dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.
Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara ‘Bum! Bum! Bum!’ Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan panjang kedua tugboat yang melewatiku secara berlawanan arah.
Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu membuatku tercengang.
“Paradoks…,” kataku.
“Relatif…,” kata Lintang tersenyum.
Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kuperkirakan sebagai subyek yang diam akan berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.
”Bukan, bukan paradoks, tapi relatif,” sanggah Lintang.
”Ukuran obyek bergerak dilihat oleh subyek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya – relatif. Einstein membantah Newton dengan pendapat itu dan itulah aksioma pertama tori relativitas yang melambungkan Einstein.”
Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikitpun untuk berhenti mengagumi tokoh di depanku ini. Mantan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp! Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi mereka.
Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dari bahan rajutan polyester, melapisi kemeja lengan panjang berwarna biru laut, naik mimbar, membawakn sebuah makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang biologi maritim, fisika nuklir, atau energi alternatif.
Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar negeri, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa kontribusi apapun selain tugas akhir dan nilai-nilai ujian untuk dirinya sendiri. Aku ingin membaca namanya di bawah sebuah artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia demikian muda, adalah murid perguruan Muhammadiyah, temanku sebangku.
Namun, hari ini Lintang ternyata hanya seorang laki-laki kurus yang duduk bersimpuh menunggu giliran kerja rodi. Aku teringat lima belas tahun yang lalu ia memejamkan matanya tak lebih dari tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit atau untuk meneriakkan Joan d’Arc! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami. Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering berangan-angan ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi angan-angan itu menguap, karena disini, di dalam bedeng tak berpintu inilah Isaac Newton-ku berakhir.
”Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan...”
Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh, sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.
I moved the posts to Another Bebeth on the Blog with the same title.
Saturday, September 13, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment